MALANGVOICE – Kota Batu direndam banjir bercampur material lumpur di Dusun Kungkuk, Desa Punten pada Jum’at sore lalu (7/10). Selanjutnya banjir kembali terjadi pada Sabtu dini hari (08/10), di Dusun Junggo, Desa Tulungrejo.
Dua titik itu berada di wilayah Kecamatan Bumiaji yang secara geografis berada di dataran tinggi. Berkali-kali Pemkot Batu melontarkan alasan klise, banjir disebabkan tingginya intensitas hujan. Sehingga aliran drainase tak sanggup menampung dan air meluap ke jalan bahkan masuk ke pemukiman.
Pegiat Konservasi Lingkungan Hidup Kota Batu, Bayu Sakti menilai, lemahnya arah kebijakan Pemkot Batu perihal menjaga daya dukung lingkungan. Banjir yang terjadi dipicu akumulasi pembangunan yang semata-mata hanya mementingkan paradigma pragmatis, salah satunya hanya berorientasi pada ekonomi namun abai kelestarian ekologis.
Baca juga : Penanganan Banjir di Kota Batu Butuh Pemetaan Jaringan Drainase
Baca juga : Kebutuhan Penanganan Banjir Bandang Kota Batu Capai Rp315 Juta
Baca juga : Kerap Banjir, Dewan Usulkan Normalisasi Kali Paron
Baca juga : Bangunan Ilegal Tumbuh Subur di Kota Batu, DPRD: Akibat Pembiaran Eksekutif
“Saya menilai, kebijakan berbasis pelestarian lingkungan bukan ditempatkan sebagai prioritas. Apa kebijakan ini menghalangi pembangunan fisik untuk mengejar angka-angka pertumbuhan ekonomi,” ujar dia.
Selain itu, banjir yang dituai setiap musim hujan datang, lantaran minimnya area resapan. Sebetulnya, Kota Batu telah membentuk Perwali Kota Batu nomor 21 tahun 2015 tentang pembuatan sumur resapan/biopori. Namun legal formal itu terkesan superfisial tanpa ada implementasi nyata.
“Belum lagi, adanya alih fungsi lahan di kawasan hutan. Saat ini dikomodifikasi sekedar perhitungan ekonomi jangka pendek. Selama ini masih jargon saja kebijakan berorientasi lingkungan,” ujar Bayu.
Baca juga : Pemkot Batu Bangun Strategi untuk Memenuhi RTH 30 Persen
Baca juga : Luas Sawah Kota Batu Terus Menyusut Tergerus Kebutuhan Ruang untuk Permukiman
Baca juga : Aliansi Selamatkan Malang Raya Soroti Revisi Perda RTRW Kota Batu
Baca juga : Aliansi Malang Raya Menilai Perubahan Perda RTRW Kota Batu Ancaman bagi Ruang Hidup
Konversi lahan kawasan hutan menjadi areal pertanian ataupun wisata patut dicermati. Terutama kawasan-kawasan hutan yang menjadi penyangga area resapan air (akuifer). Konsekuensi jangka panjang akan memicu krisis air jika pemerintah tidak melalukan perlindungan terhadap area tangkapan air.
“Kalau berorientasi konservasi, harus tegas area hutan ini jangan dialihfungsikan untuk hal-hal lain. Karena fungsinya sebagai area tangkapan,” pungkasnya.(der)