Luas Sawah Kota Batu Terus Menyusut Tergerus Kebutuhan Ruang untuk Permukiman

Tingginya kebutuhan ruang untuk permukiman menggerus luas areal persawahan di Kota Batu. Bahkan tak jarang pemilik bangunan menerobos ketentuan dan mendirikan bangunan di zona hijau yang seharusnya merupakan areal pertanian bukan peruntukkan permukiman (MVoice/M. Noer Hadi)

MALANGVOICE – Lahan areal pertanian pangan di Kota Batu setiap tahunnya makin menciut. Hal itu dipengaruhi dengan tingginya kebutuhan ruang tempat tinggal seiring bertambahnya penduduk.

Pada 2019 lalu, luas areal persawahan di Kota Batu masih 2.427,69 hektare. Rinciannya di Kecamatan Junrejo seluas 1.027 hektare, Kecamatan Batu seluas 716,23 hektar dan Kecamatan Bumiaji seluas 683,46 hektare.

Berikutnya pada 2020 luas keseluruhan tinggal 1.998,44 hektare. Penyempitan lahan sawah terbanyak terjadi di Kecamatan Junrejo, sisanya tinggal 723,33 hektare. Di Kecamatan Bumiaji tersisa seluas 780,20 hektare serta di Kecamatan Batu seluas 494,91 hektare.

Baca juga : Lahan Hijau Kota Batu Tercatat Masih Luas

Pada tahun 2022, areal pertanian yang tersisa seluas 1.736,51 hektare. Kini lahan persawahan di Kecamatan Junrejo menyisakan seluas 623,74 hektare, Kecamatan Batu 471,57 hektare dan Kecamatan Bumiaji seluas 623,74 hektare.

Wakil Wali Kota Batu, Punjul Santoso memperkirakan lahan pertanian dalam tiga tahun terakhir berkisar 691,18 hektare. Tergerusnya lahan sawah karena tingginya kebutuhan lahan untuk areal permukiman. Hal itu tak lepas dari perkembangan Kota Batu yang diiringi pula dengan meningkatnya jumlah penduduk.

Dengan adanya temuan tersebut, menurutnya Pemkot Batu tak bisa berbuat banyak. Sebab kepemilikan tanah dan rencana pemanfaatan ada ditangan masing-masing pemilik tanah. Selain hal tersebut menyusutnya lahan sawah juga dikarenakan perpindahan komoditi.

Baca juga : Kota Batu Defisit Beras, Pemdes Pendem Ingin Pertahankan Lahan Pertanian agar Tak Menyusut

“Sawah yang ditanami tanaman pangan semacam padi, umbi-umbian, jagung maupun kacang tanah, banyak yang beralih jadi lahan menanam sayuran atau tanaman holtikultura. Mereka beralih karena masa panen yang lebih cepat,” tutur dia.

Jika tanaman pangan rata-rata memiliki masa panen selama tiga bulan. Sedangkan tanaman holtikultura bisa panen di usia 40 hari. Karena itu, banyak petani yang memilih pindah komoditas. Setelah pindah komoditas, maka sudah tidak dapat lagi diperhitungkan jadi lahan sawah.

Baca juga : Konflik Tenurial Penguasaan Kawasan Hutan Membelit 3 Desa di Kecamatan Bumiaji

Lebih lanjut, pembangunan cafe dan restoran kekinian juga disinyalir menyebabkan lahan sawah di Kota Batu merosot. Apalagi saat ini masyarakat juga sangat tergila-gila dengan area makan terbuka dengan sajian pemandangan alam. Sehingga banyak pelaku ekonomi yang akhirnya memanfaatkan lahan untuk membuat tempat usaha tersebut.

“Hal seperti itu tidak hanya terjadi di Kota Batu saja. Sebab saat ini tengah menjadi tren. Yang dampaknya terjadi pada pengurangan lahan sawah,” sebut dia.

Baca juga : Bangunan Ilegal Tumbuh Subur di Kota Batu, DPRD: Akibat Pembiaran Eksekutif

Sebagai upaya agar area persawahan di Kota Batu tak terus-terusan merosot. Punjul menyampaikan, upaya untuk menyelamatkan lahan sawah berpegang pada Perda Rencana Tata Ruang Wilayah atau RTRW. Melalui revisi perda tersebut, mengharuskan Pemkot Batu untuk menjaga lahan sawah yang ada saat ini. Hal itu diterapkan melalui adanya lahan sawah dilindungi (LSD).

“Kota Batu mengusulkan LSD seluas 684,40 hektar. Setelah verifikasi, didapati bahwa LSD seluas 643 hektar. Jadi lahan itu sudah tidak bisa diutak-atik lagi. Karena statusnya menjadi lahan sawah yang dilindungi,” terangnya.(der)