Kota Batu Defisit Beras, Pemdes Pendem Ingin Pertahankan Lahan Pertanian agar Tak Menyusut

Petani mengolah lahan persawahan budidaya padi yang berada di sekitar destinasi wisata Lumbung Bumi, Desa Pendem, Junrejo, Kota Batu. (MG1/Malangvoice)

MALANGVOICE – Siapa sangka Kota Batu ternyata masih mengalami defisit ketersediaan beras. Per tahun membutuhkan sekitar 19,1 ribu ton beras atau berdasarkan data Susenas BPS kebutuhan beras di Kota Batu hampir 53 ton per hari.

Hingga kini jumlah produksi beras yang dihasilkan tak cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakat di Kota Batu sehingga harus mendatangkan dari luar daerah, seperti Blitar maupun Kabupaten Malang.

Di satu sisi hasil produksi dari petani lokal Kota Batu hanya bisa memenuhi 25 persen dari total kebutuhan.

Hasil panen yang dihasilkan dari Kota Batu sekitar 4.700 ton per tahun dari tujuh desa yakni Desa Pendem, Junrejo, Mojorejo, Torongrejo, Temas, dan Desa Giripurno.

Dari ketujuh desa itu, Desa Pendem menjadi lumbung padi terbesar untuk menopang kebutuhan beras di Kota Batu.

Kepala Desa Pendem, Tri Wahyuwono Effendi mengatakan, lahan pertanian di wilayahnya seluas 200 hektar. Mayoritas merupakan lahan persawahan budidaya padi.

Dengan kata lain luas areal pertanian separuh dari total luas wilayah Pendem yang mencapai 400 hektar. Per tahunnya padi yang dipanen dari wilayah ini sekitar 2.400 ton

“Rata-rata satu hektar bisa menghasilkan 6-7 ton kalau musim kemarau. Kalau musim hujan susut 20 persen, menghasilkan 4-5 ton per hektarnya,” kata kepala desa dua periode itu.

Secara geografis, Desa Pendem berbatasan dengan dua kecamatan yang wilayah admnistrasinya masuk Kabupaten Malang yakni Kecamatan Karangploso dan Kecamatan Dau.

Hal ini membuat banyak pengembang perumahan yang melirik kawasan ini untuk dialihkan menjadi bisnis properti.

“Ya kami harap agar petani tak menjual sawahnya. Kami ingin mempertahankan ikon Desa Pendem sebagai sentra penghasil padi di Kota Batu,” ujar Effendi.

Memang diakuinya beberapa area persawahan milik warga telah beralih fungsi. Namun konversi lahan pertanian tak terlalu signifikan luasannya. Pihaknya bersinergi dengan Diskumdag dan Dispertan untuk mempertahankan lahan pertanian.

“Ada perubahan alih fungsi lahan pertanian meski tak signifikan. Harapan saya, produksi beras di Desa Pendem bisa dipertahankan,” imbuh dia.

Effendi mengatakan, dirinya tak membuat Perdes untuk mempertahankan lahan pertanian karena instrumen itu tak akan efektif dibandingkan dengan memberikan terobosan yang berdampak pada kesejahteraan petani.

Apalagi, lanjutnya, mayoritas lahan pertanian sawah merupakan hak milik petani sehingga apapun aturan yang tertuang di dalamnya akan sia-sia jika pemilik berkeinginan menjualnya dengan berbagai alasan.

“Memang mudah buat Perdesnya. Cuma apakah efektif jika diimpelementasikan di lapangan. Apalagi minat anak muda cenderung menurun untuk menjadi petani. Terpenting bagaimana peran pemerintah untuk memberikan kesejahteraan bagi petani,” papar dia.(end)