MALANGVOICE– Setiap datangnya Idulfitri, ada satu momen yang dihelat masyarakat, yakni halalbihalal.
Digelar begitu cair, ajang ini menjadi ruang pertemuan untuk saling memaafkan dan mempererat silaturahmi. Sepintas, istilah halalbihalal terdengar seperti bahasa Arab. Karena tradisi ini tak ditemukan dalam budaya muslim di Arab pada saat merayakan hari kemenangan usai sebulan penuh menjalankan ibadah puasa.
Biasanya halalbihalal dilakukan dengan berkunjung ke rumah tetangga, saudara, dan kerabat. Dalam perjalanannya, perayaan ini makin berkembang semacam ajang “open house” yang diadakan oleh instansi maupun pejabat publik. Tradisi ini sangat otentik dan sulit ditemukan di belahan dunia lain. Karena ajang halalbihalal sudah mengakar kuat dari leluhur Nusantara. Terbentuk secara mandiri dalam sosial budaya masyarakat Indonesia.
Jika dirunut jauh pada masa lampau, tradisi halalbihalal diperkirakan sudah ada sejak masa Arya Mangkunegara I atau yang dikenal Pangeran Sambernyawa pada abad ke-18. Memang istilah halalbihalal masih belum dikenal saat itu, namun tradisi sungkeman sudah tumbuh di Istana Mangkunegaran Surakarta.
Baca juga:
Wali Kota dan Wawali Umumkan Tidak Ada Open House Lebaran 2023
Polresta Malang Kota Antisipasi Kriminalitas Meningkat Jelang Lebaran
ASN Pemkot Batu Dilarang Terima Gratifikasi Lebaran
PJT I Berangkatkan Ratusan Peserta Mudik Gratis dari Malang
Dikutip dari berbagai sumber, Antropolog UIN Sunan Kalijaga Muhammad Soehadha menuturkan, sungkeman berakar dari pisowanan di era kepemimpinan Arya Mangkunegara I pada 1757-1795 Masehi. Ketika pengaruh Islam kian kuat, acara yang mulanya adalah tradisi kraton ini disesuaikan dengan semangat keislaman.
Kala itu Mangkunegara I mengumpulkan keluarga dan kerabat kerajaan, para abdi dalem, hingga prajurit setelah merayakan Idulfitri, dilakukan acara sungkeman untuk menunjukkan hormat dan meminta ampun atas kesalahan yang dilakukan, baik sengaja atau tidak. Sejak saat itu, sungkeman dalam momen Idulfitri berlanjut dan menjadi tradisi masyarakat Jawa. Kemudian berkembang dan menyebar ke wilayah-wilayah lain di Indonesia.
Ada kisah lainnya yang menyebutkan, halalbihalal berawal dari penduduk pribumi yang mempromosikan martabak yang dijual pedagang asal India di di Taman Sriwedari Solo sekitar 1935-1936. Saat itu martabak masih makanan baru. Para pembantu pribumi mempromosikan dengan kata-kata seperti martabak malabar, halal bin halal, halal bin halal.
Baca juga:
5 Tempat Kuliner Rekomended saat Libur Lebaran ke Kota Batu
Pikat Wisatawan di Momen Libur Lebaran, BFG Tawarkan Promo
Mbois Pol, Pariwisata Kota Batu Libur Lebaran Hasilkan Rp225 Miliar
Kawasan Strategis Pariwisata, Kota Batu Jadi Perhatian Pemerintah Pusat saat Libur Lebaran
Sejak saat itu istilah halalbihalal mulai populer di masyarakat Solo. Kemudian, masyarakat mulai menggunakan istilah tersebut untuk sebutan seperti pergi ke Sriwedari di hari lebaran atau silaturahmi di hari lebaran. Kegiatan halalbihalal kemudian berkembang menjadi acara silaturahmi saling bermaafan saat lebaran.
Pendapat ini diperkuat dengan adanya kata ‘halal behalal’ dan ‘alal be halal’ dalam kamus Jawa-Belanda terbitan tahun 1938 karya Dr. Th. Pigeaud. Secara sederhana, halalbihalal dapat berarti kekusutan, kekeruhan, atau kesalahan yang selama ini dilakukan dapat dihalalkan kembali atau semua kesalahan melebur, hilang, dan kembali sedia kala.
Istilah halalbihalal kemudian dipopulerkan oleh salah satu pendiri NU, KH Wahab Chasbullah pada 1948. Saat itu, Soekarno meminta masukan dari KH Wahab Chasbullah untuk mendamaikan berbagai pihak, golongan dan elite politik yang saling menyalahkan pemerintahan. Seperti diketahui pemerintahan saat itu belum stabil karena masih dalam suasana revolusi kemerdekaan.
Menjawab pertanyaan Bung Karno, KH Wahab Chasbullah mengusulkan untuk diadakan acara silaturahmi. Kebetulan saat itu menjelang Hari Raya Idulfitri 1367 H. Presiden Soekarno dan KH Wahab Chasbullah kemudian sepakat dengan istilah halalbihalal.
“Para elite politik tidak mau bersatu, itu karena mereka saling menyalahkan. Saling menyalahkan itu ‘kan dosa. Dosa itu haram. Supaya mereka tidak punya dosa [haram], maka harus dihalalkan,” kata KH Wahab Chasbullah dilansir dari NU Online.(der)