Merdeka dari Apa?

Ilustrasi Merdeka. (MVoice/ist)

Oleh: Sugeng Winarno

Saat kita merayakan HUT ke-77 Kemerdekaan RI, sederet persoalan masih membelenggu bangsa ini. Saat kita ramai-ramai meneriakkan pekik “Merdeka!”, apa benar kita sudah benar-benar merdeka? Lantas, kita merdeka dari apa?

Sejumlah keinginan agar kita benar-benar merdeka disuarakan banyak pihak. Sebuah harapan di Hari Kemerdekaan RI yang ke-77 tahun ini agar kita bisa merdeka dari beragam wabah penyakit. Merdeka dari ketakutan akan terjadi resesi. Merdeka dari keterpurukan ekonomi. Merdeka dari sulitnya mencari pekerjaan. Merdeka dari banjir dan macet. Merdeka dari perilaku politik yang mengadu domba. Merdeka dari bayang-bayang Perang Dunia Ketiga. Hingga merdeka dari harga minyak goreng yang melambung, serta merdeka dari mahalnya harga tempe dan tahu.

Merdeka sesungguhnya bermakna terbebas dari segala macam belenggu. Saat ini sang penjajah yang pernah membelenggu Indonesia memang telah pergi. Jepang dan Belanda memang telah hengkang dari Ibu Pertiwi. Mereka tak lagi menggunakan senjata dan beragam kekuatannya untuk menindas dan mengeruk kekayaan Indonesia. Indonesia telah memproklamirkan kemerdekaannya sejak 17 Agustus 1945.

Namun, saat ini sejatinya kita belum seutuhnya merdeka. Saat ini justru bermunculan penjajahan gaya baru. Penindasan itu telah berubah wujud dan bentuk. Bangsa ini masih dibelenggu dari ketergantungan dan dominasi kekuatan bangsa lain.

Coba simak kebanyakan generasi muda kita. Sudah lama generasi milenial kita dijajah budaya Korea. Popularitas Korean Pop (K-Pop) begitu kuat dan digandrungi remaja Indonesia. Munculnya komunitas penggemar BTS Army, Blackpink, dan banyak fanbase atau fandom artis Korea di Indonesia bisa menjadi bukti.

Sugeng Winarno. (Mvoice/dok pribadi)

Aneka budaya Korea juga masuk merasuk ke benak penonton drama Korea (drakor) yang ditonton masyarakat Indonesia. Mereka tak hanya menyaksikan lakon dramanya, namun juga tak sedikit yang mengagumi ketampanan dan kecantikan para aktor dan aktrisnya. Tak cukup itu, para penonton drakor juga terkena bujuk rayu aneka produk dagangan Korea yang menyelinap masuk lewat brand yang menempel dalam banyak episode drakor yang tayang di Indonesia.

Popularitas produk merek Samsung misalnya, yang sukses merambah pasar dan mendominasi produk elektronik menjadi bukti bahwa strategi Korea menjajakan aneka produk ekspornya terbilang berhasil ke Indonesia. Korea telah menjadikan budaya tak hanya sebagai sarana diplomasi, tetapi juga telah menjadi sarana dalam mendongkrak devisa dari penjualan produk barang, pariwisata, dan aneka barang serta jasa lainnya.

Alhasil, Korea berhasil menyuntikkan pesona budayanya dan menjadi daya pikat lewat beragam produk budaya massa mereka. Dan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi saat ini telah memasilitasi semua produk budaya massa agar bisa diakses oleh siapapun, kapanpun, dan dari manapun, melintas batas geografis.

Fenomena Hallyu dan gelombang Korea (Korean Wave) semakin tak terbendung melanda, terutama generasi muda tanah air. Kenyataan ini sejatinya dapat mengikis rasa nasionalisme pada budaya dan produk bangsa sendiri. Kalau situasi ini tak segera bisa diperbaiki, itu artinya bangsa ini masih belum merdeka dari penetrasi budaya dan produk asing.

Dan ingat, tak hanya dari Korea, bangsa ini juga masih dijajah oleh Jepang lewat aneka produk barang dan budaya mereka. Kebanggaan pada budaya Jepang, laris manisnya aneka makanan Jepang, dan beragam barang elektronik serta kendaraan made in Japan menjadi bukti bahwa bangsa ini masih dalam belenggu negara yang pernah menjajah NKRI secara fisik lewat perang.

Coba tengok mobil dan sepeda motor kita. Mereknya pasti kalau tidak Honda, Yamaha, atau Suzuki. Lihat layar televisi dan aneka gadget yang ada di rumah kita. Pasti merek-merek itu bukan made in Indonesia. Tapi, made in Japan.

Tak hanya Jepang yang popularitas produknya masih mendominasi aneka barang kebutuhan warga +62. Tak sulit mencari produk dengan merk made in China di Indonesia. Demikian hanya dari negara-negara lainnya.

Lewat beragam produk budaya massa itu sejumlah negara melancarkan serangannya. Dan kita pun terlena. Sang penjajah gaya baru itu berhasil melucuti segala kemampuan kita. Alhasil. Indonesia hanya menjadi pasar bagi negara-negara yang perkasa lewat produk budaya massanya. Lewat film, acara televisi, video klip musik, Tik Tok, YouTube, dan aneka platform media, sejumlah negara masih terus menjajah Indonesia.

Dan, hingga kini, tak hanya nonton drakor, banyak orang Indonesia juga menggandrungi film-film Hollywood dan Bollywood, film-film Jepang, China, dan banyak lagi. Padahal lewat aneka tayangan hiburan itu masuk juga beragam virus yang dapat melemahkan imun seluruh kekuatan bangsa ini.

Virus budaya ternyata begitu gampang cepat menyebar serupa dengan virus Covid-19 yang persebarannya mendunia. Seperti hanya virus pandemi, serangan virus budaya dan produk asing juga berbahaya bagi ketahanan bangsa.

Inilah era yang menglobal. Inilah yang dikatakan oleh Marshall McLuhan sebagai kampung global (Global Village), dimana gegara teknologi internet kita semua warga dunia tergabung menjadi sebuah kampung sehingga segala wujud identitas secara pribadi dan sebagai bangsa itu kini menjadi kabur dan ambyar.

Kita semua tentu patut bersyukur atas kemerdekaan yang sudah diperjuangkan para pahlawan bangsa. Segala perjuangan dan pengorbanan para pejuang bangsa telah berbuah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Sudah 77 tahun kita merdeka, patut disyukuri dan diisi kemerdekaan ini dengan pembangunan.
Namun jangan lengah, aneka penjajahan gaya baru ternyata masih menyerang bangsa ini.

Kita harus menang. Kita harus lawan beragam penjajahan gaya baru itu. Kita semua mau bebas, tak tertindas oleh apapun dan dari siapapun. Kita tumbuhkan nasionalisme, kita bangga menjadi Indonesia. Kita cintai produk dan budaya bangsa sendiri.

Selamat HUT RI 77 Tahun, Pulih Lebih Cepat, Bangkit Lebih Kuat. Merdeka! (end)

*Dosen Ilmu Komunikasi FISIP UMM