Taksa Sebuah Nama; Puisi-puisi Astrajingga Asmasubrata

Ilustrasi. (Anja Aronawa)

YERUSALEM KITA

: kepada pemeluk agama

Yerusalem kita
Selalu semacam khazanah
Yang suwung, diruwat
Dan dirawat dengan darah

Serta air mata yang mengalir
Sepanjang Gaza — kehancuran
Yang purna, memuat takdir
Jauh sebelum adanya sabda

Sebuah kitab, atau semacam
Buku panduan perang
Yang damai dan sentosa —
Di dalamnya duka bersukacita

Lantaran maut adalah surga
Bagi Yerusalem kita, atau
Barangkali, inilah fakta bahwa
Semesta mewariskan iman

Kepada yang tak percaya:
Samsara, Yerusalem kita!

(dusunmaja, 2017)

 

 

ZURIAH

Tak ada amsal
Dalam gejolak-sepi itu
Selain sejumlah cuma
Perihal gairah yang padam

Satu-dua luka lebam
Masa silam, dan kaudapati
Dirimu pasi menyimak
Bayangan seorang perempuan

Yang juga semacam kecam
Segala yang terlepas
Akan kembali tergenggam
Sebagai nyala sepasang mata

Yang kaulihat seperti sabda
Terakhir, sebelum gejolak-sepi itu
Menggetarkan dawai mimpimu
Serupa nada-nada kosong

Dari segenap hirap dan ratap
Saat kausingkap kelir kenangan
Dan segalanya tampak lain
Dalam masgul mungkin, barangkali

Lantaran ini bukan percintaan
Tapi sebuah tikam!

(dusunmaja, 2017)

 

 

DEJA VU

: buat acep zamzam noor

ia pun gusar;
menyusur samudera
siang yang matang
— matahari jalang? —
perahu diterjang gelombang
angin asin menampar wajah
“duhai penempuh batin
apa yang tersembunyi
dari seketika, selain
decak terpana
sunyi yang mungkin?”
— ngungun –
di samudera lain
kata demi kata menukik
ke balik tirta
sajak pun beriak-riak
penuh oleh kesumat
— atau laknat? —
meliuk di lengkung teluk
kalbu begitu kutuk
karam
ke dalam diri!

(dusunmaja, 2017)

 

 

SYAIR-SYAIR PESISIR

1.
kau dan aku kini landai pantai
debur itu dipacu deru angin
di bawahnya terumbu menari-nari
ikan menghindari bentangan jaring
kau dan aku kini gejolak lautan
dilayari tongkang para nelayan
mendaras hidup dengan menerjang
gelombang yang menyimpan harapan
kau dan aku kini batuan karang
teguh digempur air pasang
tak pernah menolak kedatangan
atau kepergian semisal kenangan

2.
kisah kita kini apatah hati penuh kasih
jika dilingkup cinta dan rindu yang ngungun
seperti serpihan bayang rembulan dibantun
debur demi debur yang bertabur buih
kisah kita kini sebuah tongkang tua
yang tergopoh mengangkut nasib baik
menuju dermaga yang sabar menunggu
seperti hati ibu untuk tualang anak-anaknya
kisah kita kini disadari tinggal kenangan
tergagap seperti camar digusah air pasang
setelahnya udara berbau garam mengasinkan
pikiran dan perasaan dengan sepi yang usang

(dusunmaja, 2017)

 

 

SAJEN RAYA

nasib masih semacam taman bunga
sejumlah wangi kesunyian menyeruak
dan di tengahnya beriak sebuah telaga
memantulkan rona wajah kami yang lain

bertahun-tahun tak pernah jera tunaikan
hasrat menghidupi diri dengan kerja
sebagai titah yang telah digariskan tuhan
kami cuma diminta tak henti berupaya

tiada guna berlama-lama merutuki takdir
sebab ketika azan pertama berkumandang
segala yang berwatak kesedihan memudar
seperti pengakuan daun sebelum ranggas

dan selagi angin hari depan berembus pelan
kami petik kenanga, kantil, serta cempaka
untuk ditabur di telaga sebagai sajen raya
agar kami semakin mengenali wajah asing ini

(dusunmaja, 2017)

 

 

TAKSA SEBUAH NAMA

malam ini jadi lain
lampu di beranda
tiba-tiba padam
langit pun kelam
seperti kenangan
akan punggung
yang menjauh
lalu menghilang
di tikungan
riuh cengkerik dan
gemerisik daun garing
dimainkan angin
seperti bisik tertahan
sebelum lambaikan tangan
yang membikin
malam ini semakin lain
dalam ingatan
pada segelas kopi
yang mendingin
tinggal ampas
pemandangan kosong
di beranda
meninggalkan taksa
di gerowong dada
yang mungkin
sebuah duka?

(dusunmaja, 2017)

 

 

SUMUR TUA SEBUAH KENANGAN

kita dipertemukan sebuah sumur tua
tak ada kata-kata terucap sebagai sapa
cuma kerekan tali timba dan jatuhan air
menimbulkan bunyi yang melingsir sunyi

sebagai siapa kita di sumur tua itu:
jejaka yang ragu mengajak berbicara atau
dara yang malu menampakkan wajahnya
barangkali cinta semacam dahaga terberkati?

(dusunmaja, 2017)

 

 

SIMPANG

sebentar yang lalu
kau datang kemudian pulang;
di tubuhku bersarang pelukan
yang telah mendingin
saat bayangmu menghilang
dalam pandangan di jauh malam
dan kata-kata yang kupunya
melesap senyap ke inti gelap

aku pun mengingat
kali pertama kita berjumpa:
lidahku kelu pada sayu matamu
dan kesiur angin penghujan
meningkahi reranting kersen
hingga sinar lampu jalan berkedip
seperti bintang jatuh
kau dan aku kompak menunduk
seolah sedang merapal doa

tapi sepulangmu
aku menyaru seorang bocah
terjangkit pilek dan demam
tubuhku gemetar
dari mulutku keluar gumaman
(yang mungkin terdengar
semacam geraman?)
dan pelukan telah mendingin itu
malih menjadi sebutir embun
selalu ragu bertahan di pucuk rumpun

(dusunmaja, 2017)

 

 

PADA MULANYA ADALAH TANYA

: buat gilang perdana

“Apa yang tersembunyi di balik seketika?”
Tiba-tiba selembar kertas bertanya
Pada sebuah pena
Dalam genggaman penyair kita;
Kata-kata datang dan pergi
Seperti kerinduan tak bertuan
Dan waktu menorehkan jejak biru
“Permisi, tak ada suatu apa di situ!”
Sekarang segalanya menjadi gamang:
Sajak adalah kehendak yang setia
Pada sejumlah duga dan hanya
Sajak menyimpan gelap
Yang menghindar dari cahaya
Setiap kali mata penyair kita terpejam
Bayang-bayang memanjang
Setelahnya lengang mengambang
Dan selembar kertas lainnya ikut bertanya
Pada pena lainnya
“Kapan saat yang tepat untuk berhenti?”

(dusunmaja, 2017)

*Astrajingga Asmasubrata, kelahiran Cirebon tahun 1990. Bekerja sebagai tukang cat melamik – duko – politur di Jakarta Timur. Penggerak Malam Puisi Jakarta. Buku puisi yang telah terbit adalah Ritus Khayali. Sedang menyelesaikan buku puisi terbarunya yang berjudul M I R Y A M.