Dampak Sungai Brantas Tercemar: Bahaya Diare hingga Kanker

Sungai Brantas Darurat Limbah

Ancaman Penyakit Akibat Senyawa Pengganggu Hormon

Penyakit selain diare yang dikhawatirkan akibat senyawa pengganggu hormon (SPH), berupa diabetes/DM tipe 2. Dari 2014 hingga 2016, angka penyakit diabetes di Kota Malang masuk 10 besar penyakit yang ditangani. Meskipun angkanya mengalami penurunan, tetapi masih cukup besar. Masing-masing 25.067 kasus, 25.155 dan 13.815 kasus.

Sedangkan di Kota Batu, yang secara geografis berada di bagian hulu Brantas ternyata diare masih menempati urutan 10 besar penyakit yang ditangani.

Pada 2014 mencapai 4.004 kasus, sedangkan 2016 tercatat 1.670 kasus. Tidak jauh berbeda dengan Kota Batu, di Kabupaten Malang, penderita diare mencapai 54.869 tahun 2014 dan tahun 2015 turun menjadi 53.702 kasus diare yang ditangani. Kasus diare di Kabupaten Malang juga berada di posisi 4 dari 10 besar penyakit di Kabupaten Malang, setelah ISPA, darah tinggi, dan radang lambung.

Warga bantaran sungai Brantas sedang memompa air untuk kebutuhan rumah tangga (Miski)

Dinas Kesehatan menilai kasus diare masih normal. Jumlah kasusnya pun terbilang fluktuatif setiap tahun. Peningkatan kasus diare terjadi pada momen lebaran maupun hari-hari besar lainnya. Kadinkes Kabupaten Malang, Abdurrahman, mengakui, penyebab diare bukan sekadar pencemaran air sungai. Namun, bisa disebabkan dari makanan, minuman, alergi dan lainnya.

Warga di bantaran sungai, kata dia, memang rentan terjangkit penyakit diare. Perilaku BAB sembarangan dapat memicu terjadinya diare karena air yang dikonsumsi dari air sumur terpapar air sungai yang sudah tercemar. “Yang penting indikator diare jangan sampai dilanggar. Penderita diare mendapat penanganan dan tidak sampai menyebabkan penderitanya meninggal dunia,” katanya.

Padahal dampak pencemaran sungai tidak hanya mengakibatkan penyakit diare saja atau gatal-gatal. Namun, yang lebih berbahaya dan yang perlu diantisipasi adalah penyakit kanker, diabetes, gangguan kehamilan seperti cacat lahir, dan juga autis. Kesemuanya itu juga disebabkan air yang tercemar senyawa kimia. IndoWater Cop menyebutnya sebagai senyawa pengganggu hormon (SPH).

Koordinator IndoWater Cop Riska Darmawanti menyatakan SPH terdeteksi pada media lingkungan (air dan sedimen), bahan pangan (ikan dan kerang/siput), dan manusia (darah, urin, rambut, dan air susu ibu). Kandungan SPH di lingkungan maupun organisme merupakan peringatan dini terhadap kesehatan ekosistem, organisme (individu dan populasi), serta manusia.

Ia mengatakan data terkait dampak paparan SPH terhadap satwa liar dan manusia masih terbatas. “Di Indonesia mungkin ada tapi dipublikasikan terbatas, atau tidak dilepas ke publik,” kata Riska.