Dampak Sungai Brantas Tercemar: Bahaya Diare hingga Kanker

Sungai Brantas Darurat Limbah

Pria 64 tahun ini tak menampik masih ada warganya yang BAB dan membuang sampah serta limbah domestik langsung ke Sungai Brantas. Meski begitu, ia mengklaim jumlahnya terus berkurang. Perbandingannya, kata dia, lebih dari 80 persen warga Kampung Tridi telah BAB di toilet, baik yang ada di dalam rumah maupun menggunakan toilet umum.

Keberadaan toilet umum efektif mengurangi warga BAB di sungai. Tersedianya tempat sampah, petugas yang rutin mengangkut sampah dari warga juga mengurangi volume sampah yang dibuang ke sungai. Hanya saja, pihaknya belum bisa menertibkan kebiasaan membuang limbah domestik ke sungai. Ia yakin lambat laun warga semakin sadar. Karena setiap hari ada 500 lebih wisatawan berkunjung ke Kampung Tridi. “Pastinya warga merasa malu, baik untuk BAB dan buang sampah ke sungai,” ujarnya.

Ia berharap pemerintah dapat menyediakan Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) khusus menampung limbah domestik. Sehingga, air limbah domestik yang dibuang ke sungai lebih dulu melalui proses. Tanpa IPAL khusus limbah domestik, Valentinus tidak yakin warga kampungnya tidak lagi membuang limbah ke sungai. Selain minimnya ketersediaan lahan, juga didukung dengan kebiasaan lama.

“Sudah dari dulu warga yang berada persis di bantaran Sungai Brantas buang limbah rumah tangga ke sungai,” ungkapnya.

Pola hidup bersih dan sehat yang belum seluruhnya menyentuh masyarakat membuat kejadian diare masih merata di hampir kabupaten dan kota di Jawa Timur, terutama masyarakat yang berada di wilayah sungai Brantas. Bagi warga yang tinggal di hulu Sungai Brantas, mendapatkan air bersih dan layak minum bisa jadi tidak masalah. Lantaran sumber air bersih masyarakat dari sumber mata air.

Berbeda dengan warga Kota Surabaya dan sekitarnya yang menggunakan air sungai untuk kebutuhan sehari-hari.
Meski telah diolah oleh Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) dengan campuran kimia agar sesuai standar, pakar kesehatan Universitas Brawijaya, Lilik Zuhriyah menilai air PDAM tidak layak konsumsi. “Meski sudah direbus,” katanya ditemui di kediamannya, pertengahan Agustus.

Sebab, kata Lilik, semakin buruk kualitas air, saat pengolahan membutuhkan perlakuan lebih banyak. “Artinya, campuran dan bahan kimia yang digunakan semakin besar untuk menghasilkan kualitas air sesuai ketentuan,” ujarnya.

Ia khawatir jika masyarakat terlalu sering mengkonsumsi air dari bahan baku yang tidak memenuhi baku mutu ini dapat menjadi pemicu penyakit kanker dan lainnya. Cara mengidentifikasi tidak layak konsumsi kualitas air PDAM tidak sulit. Ia mengatakan pada panci yang digunakan merebus air olahan PDAM menyisakan gumpalan dan kerak yang melekat.

”Saya tidak membayangkan jika air tersebut terus-terusan dikonsumsi dan masuk ke dalam tubuh. Mungkin secara fisik oke, tapi secara kimia dan biologi bagaimana? Perlu penelitian lebih lanjut,” katanya.

Dinas Kesehatan Kota Malang mengklaim pencemaran air Sungai Brantas tidak terlalu berpengaruh besar pada warga Kota Malang. Sebab, lebih dari 85 persen warganya telah menggunakan air PDAM dan air sumber yang dikelola secara swadaya. Namun, Dinas Kesehatan enggan memberikan data hasil uji lab kualitas air PDAM yang layak minum tersebut.

Sementara data dari Profil Kesehatan Jawa Timur, penanganan diare di kota ini masih di atas 10 ribu. Tercatat kasus diare yang ditangani di Kota Malang tahun 2013 sebanyak 12.716 dan pada 2014 ada 13.744 kasus. Jumlah ini meningkat pada 2015 menjadi 16.543 kasus.

Meski angkanya terus meningkat, Kepala Dinas Kesehatan Kota Malang, Asih Tri Rachmi Nuswantari, mengatakan, penyakit diare bukan 10 besar penyakit yang ditangani di Kota Malang. Sebabnya karena pemberdayaan masyarakat dan gerakan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) di masyarakat.