Waduh! Hanya 15 Persen Produk Makanan Tersertifikasi Halal, Sisanya?

Drs KH Abdul Amri Siregar. (Istimewa)

MALANGVOICE – Bagi masyrakat Indonesia, konsep makanan dan produk yang enak dan murah diposisikan paling utama. Lalu bagaimana dengan kehalalan produk? Ternyata, menurut Kepala Pusat Pembinaan dan Pengawasan Jaminan Produk Halal Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal Kementerian Agama, Drs KH Abdul Amri Siregar, konsep kehalalan selalu berada menyusul konsep enak dan murah.

“Oleh karena itu, dengan adanya Undang-Undang No 30 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal diharapkan bisa mengubah pola pikir masyarakat yang terlena dengan produk-produk yang dijual tanpa sertifikasi halal,” katanya.

Ditambahkannya bahwa saat ini hanya ada 15 persen produk yang sudah tersertifikasi halal, sisanya atau 85 persen masih belum bisa dipastikan kehalalannya.

“Dalam memberikan label halal tidak boleh mendeklarasikan label halal sendiri karena harus ada sertifikasi halalnya yang membutuhkan pemeriksaan,” katanya.

Ada empat tahapan proses sertifikasi halal yang akan diterapkan oleh kementerian Agama. Pertama pelaku industri mendaftarkan produknya ke Badan Penyelenggara Jaminan Halal (BPJH) Kemenag. Jika produk tersebut diperlukan pemerikasaan akan diteruskan ke Lembaga Penjaminan Halal (LPH) yang saat ini biasa disebut LPOM MUI.

“Kedepan MUI dan Kemenag akan berkerjasama dalam pemberiaan sertifikasi halal ini. Jadi nanti LPOM MUI akan dirubah menjadi LPH. LPH ini nantinya juga akan melibatkan perguruan tinggi yang sudah mempunya halal center,” katanya dalam International Conference and Expo on Halal Industry and Science (ICEHIS) 2017 di Gedung Widyaloka Universitas Brawijaya, Rabu (18/10).

Setelah dari LPH akan dikembalikan ke BPJH, dan hasilnya akan diserahkan ke MUI yang mana para ulama nantinya yang akan mengeluarkan fatwa apakah produk yang diajukan mengandung unsur haram atau tidak. Dari situ jika halal maka akan diterbitkan sertifkat halal.

“Dalam proses sertifikasi produk halal ini, masyarakat bisa melakukan pemantauan atau tracking sudah sampai tahap mana produk yang akan disertifikasinya dan jika lebih dari 62 hari belum keluar sertifikasinya, maka masyarakat bisa mengajukan tuntutan ke BPJH. Kami membuat sistem ini seperti layaknya jasa pengiriman barang agar masyarakat bisa memantau prosesnya,” katanya.

Abdul Amri juga menegaskan bahwa konsep atau program ini sekaligus menepis pemberitaan yang beredar selama ini bahwa pemerintah mengambil alih proses sertifikasi yang selama ini dilakukan oleh MUI.

“Pemberitaan selama ini tidak benar karena kami masih bekerjasama dengan alim ulama dari MUI untuk mengeluarkan fatwa halal atau haram terhadap suatu produk,” pungkas dia.(Der/Yei)