Sudahkah Jatim Mandiri dalam Otonomi, Ini Faktanya!

Tim Riset UM bersama pembimbing. (Istimewa)

MALANGVOICE – Jawa Timur diberi kewenangan untuk mengelola dan mengurus rumah tangganya sendiri melalui otonomi daerah. Ternyata, pada tahun 2010 laju pertumbuhan ekonomi Jatim sebesar 6,68%, dan berangsur turun hingga tahun 2014 yakni sebesar 5,86%. Jatim dengan kapasitas fiskal tinggi didukung potensi-potensi sumber daya ternyata belum dapat memaksimalkan keuntungannya untuk mendorong peningkatan laju pertumbuhan ekonomi.

Sekelompok mahasiswa Universitas Negeri Malang (UM), yakni Wahyu Kurniana, Wahyu Kurniani, Irvan Sepfiandy dan Evan Gyovani melakukan penelitian yang berlangsung selama 5 tahun dari tahun 2010-2014.

“Dari penelitian ini kami ingin mengetahui dampak dari adanya kebijakan otonomi daerah dalam mendorong peningkatan pertumbuhan ekonomi di Jawa Timur,” kata Wahyu Kurniana saat dihubungi Mvoice.

Dari riset mereka, ditemukan beberapa fakta. Pertama, alokasi anggaran belanja daerah akan menyesuaikan dengan bertambah/berkurangnya jumlah anggaran pendapatan yang diperoleh daerah, baik pendapatan yang diperoleh dari daerah sendiri maupun pendapatan yang diperoleh dari dana transfer dari pemerintah pusat (dana alokasi umum dan dana alokasi khusus).

“Hal ini sesuai dengan teori basis penyusunan anggaran yang bersifat incrementalism. Semakin besar realisasi pendapatan yang diperoleh dari dana transfer maka semakin besar pula dana yang harus disalurkan pemerintah daerah melalui pengalokasian anggaran belanja. Dengan meningkatnya belanja daerah tersebut diharapkan mampu meningkatkan pelayanan publik oleh pemerintah daerah kepada masyarakat,” bebernya.

Kedua, Jumlah belanja daerah yang besar dan meningkat setiap tahunnya tidak mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi di Jawa Timur. Hal ini disebabkan karena proporsi belanja daerah yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah lebih digunakan untuk membiayai pengeluaran seperti belanja pegawai dari pada digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran yang produktif seperti belanja modal.

“Anggaran yang dikeluarkan untuk belanja program kegiatan atau belanja modal hanya sebesar 15% sampai 20% nya saja dari keseluruhan belanja daerah, sedangkan belanja untuk pegawai melebihi 50% dari total belanja daerah setiap tahunnya,” paparnya lagi.

Ketiga, belanja daerah pada kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur telah mengalami flypaper effect. Flypaper effect merupakan dampak negatif dari penerapan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal yang menandakan rendahnya tingkat kemandirian dan kinerja perekonomian daerah.

“Pemerintah daerah belum sepenuhnya lepas dari pemerintah pusat di dalam mengelola keuangan daerah. Implementasi otonomi daerah masih setengah hati, dimana di satu sisi memberikan keleluasaan dalam menentukan arah kebijakan politik daerah. Tetapi, di sisi lain kebijakan seputar pengelolaan keuangan masih erat dipegang pusat, dan ini menyebabkan daerah sulit berkembang dan tetap bergantung pada dana perimbangan dari pusat,” tambah dia,

Dari hasil temuan itu, lanjut Wahyu, riset ini mengajukan setidaknya dua rekomendasi. Pemda seharusnya lebih mengoptimalkan potensi-potensi ekonomi. Kedua, pemerintah daerah harus lebih memperbesar belanja modalnya.


Reporter: Anja Arowana
Editor: Deny Rahmawan
Publisher: Yuliani Eka Indriastuti