Restorative Justice Batal, 4 Penebang Pohon Perhutani Jalani Proses Hukum

Rudiyanto (kanan) dan Wijayadi (kiri) dilaporkan ke pihak kepolisian oleh Perhutani Malang. Kedua warga Desa Gunungsari itu tersandung persoalan hukum lantaran menebang empat pohon suren di areal hutan RPH Punten BKPH Pujon. (MVoice/istimewa)

MALANGVOICE – Upaya restorative justice kasus penebangan pohon di kawasan hutan mengalami jalan buntu. Akibatnya, empat warga Dusun Brau, Desa Gunungsari, Bumiaji, Kota Batu berhadapan dengan persoalan hukum. Keempatnya ialah Rudiyanto, Wijayadi, Abdul Rohim dan Suedi.

Kasus itu berawal saat mereka menebang empat pohon suren berdiameter sekitar 40 centimeter di kawasan hutan RPH Punten BKPH Pujon pada April lalu. Penebangan pohon atas inisiatif Rudiyanto sehingga ia menyampaikan pemberitahuan melalui Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) Gunungsari.

Lantas ia mengajak rekannya Wijayadi menebang pohon yang rencananya akan dibuat untuk mendirikan gazebo di wana wisata Goa Pandawa. Pohon yang telah ditebang itu dibiarkan begitu saja di lokasi semula karena terkendala peralatan. Akhirnya, setelah memiliki biaya ia memindahkan kayu hasil tebangan.

“Pada Agustus 2022, kami sudah memiliki tabungan. Uangnya kami gunakan untuk membayar dua orang yang membantu kami membawa batang pohon tersebut,” ujar Rudi.

Baca juga:

Pelempar Bondet di Rumah Petugas Lapas Malang Ditangkap, Satu Masih Buron

Sukses Gelar Event Besar, Sutiaji: MCC Dalam Masa Cek Sound Sebelum Diresmikan

Sanusi Minta Tindak Tegas Pelaku Pembongkaran Tribun Stadion Kanjuruhan

Eryk: Pengerusakan Stadion Kanjuruhan Masuk Obstruction Of Justice

Perum Perhutani pun tak membenarkan perbuatan yang dilakukan Rudiyanto dan ketiga rekannya. Mereka pun dilaporkan ke Polres Batu untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Hingga akhirnya, Pemdes Gunungsari turun tangan meminta diselesaikan melalui restotive justice.

Upaya itu pun disetujui pihak Perhutani dengan syarat menanam 10 ribu bibit pohon pinus. Bibit-bibit itu harus dibeli dari Perhutani dengan biaya Rp25 juta ditambah Rp1 juta untuk biaya pengangkutan. Totalnya yang harus disetor ke Perhutani sebesar Rp26 juta. Konsekuensi itu diberikan untuk memberi efek jera kepada keempat orang itu.

Tawaran itu cukup memberatkan keempatnya yang berlatar belakang ekonomi lemah. Mereka pun meminta keringanan, namun ditolak Perhutani yang bersikukuh tetap 10 ribu bibit pohon pinus. Terdesak tanpa ada pilihan lain, akhirnya keempat orang itu mengambil tawaran Perhutani itu.

“10 ribu bibit itu, kata Perhutani sudah yang paling rendah. Sementara Perhutani Provinsi Jatim meminta 40 ribu bibit. Karena sudah kepepet, saya terpaksa menjual pikap. Bagi kami Rp26 juta cukup besar,” ujar Rudiyanto.

Baca juga:

Konflik Tenurial Penguasaan Kawasan Hutan Membelit 3 Desa di Kecamatan Bumiaji

Demi Upah Rp150 Ribu, Dua Pria Asal Kasembon Nekat Curi Kayu Sonokeling di Lahan Perhutani

Perhutani Malang Sebut Banjir Bandang Bukan karena Alih Fungsi Lahan

Ada bukti pembayaran berupa kuitansi yang mencantumkan nominal Rp26 juta. Namun di tengah perjalanan, uang yang diberikan dikembalikan oleh Perhutani setelah mendapat teguran dari Dewan Pengawas Perum Perhutani dan Gakkum KLHK. Berdasarkan keterangan yang didapat, teguran itu muncul setelah sejumlah aktivis pegiat lingkungan mengadukan persoalan yang menimpa keempat orang itu. Sehingga upaya rekonsiliasi itu dibatalkan Perhutani dan lanjut proses hukum.

Kepala Sub Seksi Hukum dan Komunikasi Perum Perhutani KPH Malang, Hadi Mustofa menyatakan batalnya kesepakatan perdamaian tersebut karena adanya isu miring yang menerpa pihaknya pasca kesepakatan. Hingga akhirnya, hal itu sampai terdengar hingga pejabat pusat.

“Setelah kesepakatan itu, informasi jadi bias ke mana-mana. Salah satunya, ada suara bahwasannya kami mengkriminalisasi atau semacam memberatkan para warga,” ujar Hadi.

Menurutnya, permintaan menanam 10 ribu bibit pohon bukan bermaksud memberatkan keempat orang itu. Melainkan sebagai bentuk agar menimbulkan efek jera dan bagian dari perbaikan ekologi hutan. Sehingga mereka diberi batas waktu mulai 8 November hingga 31 Desember melakukan penanaman 10 ribu pohon secara sporadis.

Upaya restorative justice dibatalkan pada 8 Desember lalu setelah kedua belah pihak melakukan pertemuan disaksikan penyidik, tokoh masyarakat dan perangkat desa.

“Dengan berkembangnya informasi itu, kami menyatakan agar kesepakatan itu dibatalkan. Kalau keberatan ya sudah ke ranah hukum saja. Biar pengadilan saja yang memutuskan. Ini permintaan Perhutani,” tegas dia.