“KETIKA SI BISU MEMBACA PUISI”

Wajahnya redup. Kosong ia memandang ke luar jendela. Di hadapannya tak ada satu tumpuk buku pun. Tak ada senyuman macam, ketika awan berarakan atau ranting kamboja bergoyang ditingkah angin dari balik jendela. Pun, ketika jam dinding terus mengabarkan waktu hingga senja sampai ke persinggahan, perempuan itu hanya diam dan terpaku sepanjang hari di sana.

Aku memperhatikan seperti biasa. Kemoceng dan lap kotak-kotak yang kuletakkan di bahu kiri setia menemani. Sengaja kuperlamban gerakan ketika aku berdiri tak jauh disisinya. Kucoba memecah lamun dengan bunyi buku yang bertumbuk. Ketika ia menoleh kepadaku, mata kami beradu. aku terhenyak. Bekas basah melurik, mengaris bagian bawah matanya sampai ke dagu.

“Apa ia kesal sepertiku, kesulitan membaca buku puisi itu karena ejaannya sulit?”

Entah darimana datangnya keberanian, ketika buku puisi yang kukantongi di belakang baju tiba-tiba langsung kusodorkan kepadanya. Ia terkejut. Kedua alisnya terangkat. Entah kaget karena heran, bagaimana tukang bersih-bersih sepertiku tahu itu satu-satunya buku yang selalu ia baca, atau penampakan sampul buku itu kini lebih rapi karena kubalut dengan kertas almanak tahun dua ribu.

“Namamu, siapa?”

Aku menggaruk-garuk leher yang basah. Pakaianku menjeplak badan karena peluh gugup. Bagi pertanyaan perempuan ini, mungkin aku terlalu muda untuk menjadi kawan pustakawan tua yang rabun matanya, terlalu rendah kasta karena cuma bisa mengelap rak, meja, almari, lantai, jendela, sampai membersihkan kerang yang tebal debunya. Tapi, bisa apa? Keterbatasan memang hanya mampu menghantarkanku sampai di anak tangga ini.

Pakde Gimun tak nampak di balik meja. Mungkin tertidur di kursi manjanya. Aku rasa halal saja menghentikan pekerjaan sebentar untuk duduk menghadapi perempuan yang patah semangatnya ini. Sebenarnya, ini kejam sekali, karena aku senang luar biasa. Untuk pertama kalinya aku bisa melihat semua tentangnya lebih jelas.

“Aku sering melihatmu mengusapi rak-rak ketika aku datang.”

Aku berbicara menggunakan jemari. Kuusap-usap pipi dan bibirku bergantian. Kuharap ia menangkap maksud tunawicara sepertiku.

“Tidak. Hanya…”
Oh. Dia mengerti.
“Pernah mencintai seseorang namun tak berani mengutarakannya?”