“KETIKA SI BISU MEMBACA PUISI”

“Ada buku, rasanya cuma satu di perpustakaan ini. Aku mendapatkannya dari seorang penulis muda lima bulan lalu.” Lelaki jawa berpipi kendur tersebut adalah pustakawan satu-satunya di perpustakaan ini. Bila bukan karena pak de Gimun inilah, aku mungkin tak akan mendapatkan pekerjaan tetap.

Ia mengambil sebuah buku, membolak-balik, memeriksa isi. Aku tak menemukannya, sehingga tentu saja, langsung saja kutanyakan pada yang paling paham. Meski dengan penjelasan berbelit, beruntung ia menangkap maksudku. Aku menatapnya yang terus memegangi kacamata. Diejanya satu-persatu semua huruf di sampul depan. Dibolak baliknya lagi, kemudian ia menggodaku dengan alis sebelah kiri yang meninggi.

“Ah. Budi. Lelaki yang baru membaca puisi biasanya lelaki yang mencoba berkenalan dengan cinta.” Ia menjulurkan tangannya. Sebuah buku bersampul kuning menyala persis seperti keinginanku ada di sana. “Ini,” ujarnya sambil duduk,“Cetakan lama. Agak susah membacanya, tapi semoga kamu menemukan jawaban di sana.” Kursi kayu yang ia duduki berderat-derit—suara berisik tatkala tangannya menjangkau secangkir kopi hangat di atas meja.

Melihatku kegirangan, pakde Gimun mengimbuhi bahwa aku dapat meminjam buku itu sehari semalam. Mungkin suasana hatinya baik. Buktinya, sambil menggosok-gosok janggut panjangnya, ia bernyanyi tembang kinanthi jawa yang sedap didengar. Suaranya memantul di antara segala yang tua.

Aku membuka buku itu setibanya di rumah. Aroma nyengit yang berumur namun menenangkan itu menerah nama pengarang yang belum pernah aku dengar. Bermodalkan cahaya dari lampu lima watt, kuperhatikan halaman ke halaman. Kata-kata tercipta dari cetakan pita hitam mesin tik, huruf besar, kecil, khas ejaan Republik. Aku membalik halaman berikutnya karena tidak mengerti. Terus, demikian. Hingga kemudian kutemukan halaman yang ditandai pembatas oleh pembaca terakhirnya.

Aku termanguh, lalu tersenyum-senyum. Bila saja dinding kayu di kamar ini bisa berkata-kata, dia gegar menertawaiku. Sepotong bait dari buku berhalaman tujuh puluh lembar itu membuat dadaku meletup-letup. Seakan-akan, puisi ini untukku.

Sedekap siuk kepada angin, sedekap biru kepada langit,
Sedekap mata memandangi Tuan, meski dari jauh.