Tuan Tukang Cerita

Ilustrasi. (Anja Arowana)

Cerpen Oleh: Mudiuddin
mahasiswa IDIA Prenduan, anggota AJMI
…..

Api itu terus berkobar, melalap semua yang disentuhnya. Di dalam sana hanya seorang kakek yang duduk bersantai seakan-akan api itu tidak ada sama sekali di hadapannya. Di luar orang hanyalah sebagai saksi mata atas kobaran api itu. Ya, mereka hanya menyaksikan bagaimana api begitu menikmati rumah itu. Bahkan tidak ada seorang pun yang berpura-pura memegang gayung yang diisi ar untuk menyiram api itu, tidak juga dengan menghubungi pemadam kebakaran. Semua hanya diam menyaksikan.
“Tidak adakah yang bisa memadamkan api itu? Setidaknya untuk menyelamatkan orang di dalamnya.” Cletuk salah seorang di kerumunan itu.
“Di dalam hanyalah seorang kakek-kakek, siapalah yang mau menyelamatkannya. Toh dia juga sudah bau tanah. Itung-itung itu akan mempermudahkannya, anggap saja itu sekali jalan menuju surga.” Timpal seseorang.
“Mau di selamatkan juga dia akan mati, siapa yang akan mengurus mayatnya. Yang akan memandikannya, meyiapkan kayu bakar, dan upacara pembakaran mayatnya. Catatan keluarga saja tidak jelas.” Timpal lagi salah seorang dari kerumunan itu.
“Biarlah dia menjadi abu bersama rumahnya itu, kalau sudah padam apinya kita tinggal ambil abunya sedikit saja dan kita taburkan di pantai sebagai upacara terakhirnya. Tapi siapa yang akan melakukannya?” Timpal lagi dari yang lain.
Kakek di dalam rumah itu begitu tenang, ia tersenyum. Sama sekali tak mengharap ada orang yang datang menerobos api untuk menolongnya. Ya, siapa pula yang akan menolongnya. Ia sudah tahu itu, seperti apa yang di katakan orang-orang di luar. Biarkan saja menjadi abu.
***
Tuan tukang cerita itu menghentikan ceritanya, orang-orang di sekitarnya masih memandangi berharap tuan tukang cerita masih meneruskan ceritanya. Sebagian sedang memasang muka geram karena masih tidak bisa lepas dari cerita dari tuan tukang cerita, sebagian lagi berlinang air mata. Selalu saja begitu. Mereka yang mendengarkan tuan tukang cerita bercerita selalu mengharapkan cerita itu masih terus berlanjut. Orang sudah tua itu yang kerap kali dipanggil tuan tukang cerita selalu bisa membuat orang ingin mendengarkan ceritanya. Tuan tukang cerita mengembalikan raut mukanya seperti biasa.
“Hallo… Tuan-tuan, Nyonya-nyonya, dan anak-anak. Ceritanya sudah selesai, sampai kapan kalian akan terus menatapku dengan tatapan aneh itu?” Tuan tukang cerita terkekeh-kekeh, bibirnya sedikit terlipat ke dalam. Bisa dimaklumi usianya sudah tua.
“Bagaimana akhir dari ceritanya?” Tanya salah sorang dari para pendengar.
“Ini adalah akhir dari ceritanya anakku.” Balas tuan tukang cerita.
“Bagaimana dengan kakek tua itu?”
“Kalian bisa mengira-ngiranya sendiri.” Tuan tukang cerita itu kembali terkekeh dan bibirnya sedikit terlipat ke dalam.
“Ah… Tuan tukang cerita selalu saja seperti itu.” Keluh mereka yang menjadi pendengar cerita dari tuan tukang cerita.
“Inilah kebebasan dalam bercerita anakku, kita tidak pernah tahu akhir dari cerita. Kita mungkin cukup mereka-rekanya saja, tak lebih. Selama masih ada kehidupan cerita tidak akan benar-benar selesai.”
“Tapi…” Tuan tukang cerita menjeda perkataannya dengan menunjukkan wajah penyesalan.
“Tapi apa tuan tukang cerita?”
“Tapi siapa yang akan mengisi mangkuk ini!” Tuan tukang cerita kembali dengan tertawanya yang terkekeh, semua orang juga ikut tertawa paham maksud tuan tukang cerita. Orang-orang itu kemudian bergiliran mengisi mangkuk di hadapan tuan tukang cerita dengan beberapa koin atau lembaran uang.
“Mau pesan makanan kakek tua?” Seseorang menghampiri tuan tukang cerita menawarkan makanan.
“Kau selalu tahu anakku.” Ia kembali terkekeh.
“Siapkan satu untuk kakek tua kita ini.” Teriak orang itu.
***
Sudah seperti sore biasanya, tuan tukang cerita itu datang ke sebuah kedai makan yang biasa dikunjungi. Bukan untuk memesan makan atau hanya sekedar minum. Bukan. Tapi untuk berbagi cerita pada orang-orang yang ingin mendengarkannya. Meskipun begitu, penjaga ataupun pemilik kedai itu tidak merasa terganggu ataupun rugi. Mereka menganggap Tuan tukang cerita itu sebagai penglaris bagi kedai makannya. Ya, begitulah kata mereka. Tak pernah sebelum ini kedai itu serame sekarang. Meskipun pada awalnya orang-orang hanya ingin mendengarkan cerita si tuan tukang cerita itu. Pada akhirnya mereka merasa kurang jika hanya mendengarkan cerita, mereka akan membeli minuman atau makanan ringan sebagai pelangkap. Terkadang usai mendengarkan mereka memilih untuk memesan makan sebelum pulang.
Seperti sore biasanya, kadatangan tuan tukang cerita selalu di nanti. Dengan baju yang sedikit kumuh yang tak pernah diganti, tapi tak tercium bau tak sedap sedikit darinya. Ia datang dan duduk di kursi yang biasa ia tempati. Sekarang ia begitu diterima tidak seperti pertama ia datang di desa itu dan mampir ke kedai itu. Ya, belum sempat melangkahkan kaki kanannya ke dalam kedai ia langsung di cegat oleh pemilik kedai dan mengusirnya. Pun demikian dengan orang lain yang hanya melihat. Hanya seorang anak ingusan yang mendekatinya dan memperhatikannya yang menggerutukan sesuatu dengan pelan.
“Ada apa Nak?” Anak itu hanya memandanginya tanpa menjawab “ oh kau tidak mau bicara.”
“Mau mendengar cerita?” Anak itu mengangguk dan tuan tukang cerita menceritakannya sesuatu. Tentang seorang kakek yang mencari kematian dan tak kunjung ia bertemu dengan kematian. Ia selalu mencari ke manapun di tempat seluruh dunia, ia pernah sengaja sedikit menggoreskan pisau di lengan kirinya tapi itu tak pernah berhasil, hanya sekedar mengantarkannya ke rumah sakit. Menyewa seorang algojo untuk membunuhnya masih tidak berhasil. Sengaja membaringkan diri di rel kereta ketika kereta sedang melintas masih tidak berhasil juga. Entah kenapa waktu itu kereta tiba-tiba keluar dari rel dan berbaring tepat di samping kakek itu. Pada akhirnya ia menyerah dan memilih untuk diam di rumah menunggu kematian menjemputnya. Itu juga masih sia-sia, karena kematian tak juga menjemput.
Tuan tukang cerita yang pertama kali bercerita di tempat itu menghentikan ceritanya. Anak itu masih melihatnya dan orang-orang yang tanpa sengaja ikut mendengarkan di hadapannya. Kemudian ia mengeluarkan mangkuk dari tas kecil yang ia bawa di punggungnya.
“Anak-anak, cerita bersambung. Sekarang biarkan mangkuk ini juga merasakan beberapa koin atau lembar dari uang kalian.” Ucap tuan tukang cerita kemudian sedikit terkekeh.
“Tapi Tuan, cerita yang anda sampaikan seperti belum selesai.”
“Bukan seperti anakku, tapi memang belum selesai. Jika kalian ingin cerita ini berlanjut datanglah ke mari atau ke kedai di seberang jalan itu. Sekarang isi dulu mangkuk ini, saya memaksa. Kalau tidak”
“Kenapa Tuan.”
“Kalau tidak, aku terpaksa berpuasa lagi.” Orang itu tertawa lalu menaruh apa yang diminta tuan tukang cerita dan pergi.
Orang-orang sudah menunggunya, ia terkekeh dan meletakkan tongkatnya “sudah berapa lama kalian menunggu?”
“Seperti biasa.” Tuan tukang cerita mengangguk kepala.
“Bagaimana, ada yang bisa melanjutkan ceritanya? Bagaimana keadaan kakek tua itu, hah.”
“Aku tidak akan bercerita kali ini, kemarin adalah yang terakhir. Heheheh.” Lanjutnya.
“Lantas bagaimana tentang kakek tua itu, apakah dia mati?”
“Berpikirlah sedikit kreatif dalam mereka-reka.”
“Jika ia masih hidup?”
“Boleh anakku, tapi bagaimana ia masih hidup? Heheheh.”
“Entahlah, mungkin ketika api sudah padam kakek itu masih sempat tertolong.”
“Tidak anakku, tidak ada yang menolongnya. Bukankah sudah kuceritakan yang kemarin, tidak ada yang menolong setelahnyapun tidak ada. Bagaimana ia bisa masih hidup, tidak ada yang tahu. Kehidupan terlalu membencinya, sehingga tak memberi ruang kematian kepadanya.”
“Lantas apa yang dilakukan kakek itu?”
“Ia kembali berjalan, berkeliling mencari kematian. Ia yakin akan bertemu dengannya di suatu tempat. Sampai sekarang pun ia masih mencari, terkadang mengambil rehat di suatu tempat kemudian melanjutkannya perjalanan.” Tuan tukang cerita menghela nafas “boleh aku meminta makanan dan minuman, kali ini aku tak akan mengeluarkan mangkuk untuk kalian isi. Aku hanya minta itu.”
Seseorang mengantarkan makanan dan minuman untuknya “Kuharap aku tidak akan menikmati semua ini lagi!”
“Kenapa Tuan, apakah makanannya tidak enak?”
“Bukan apa-apa.” Tuan tukang cerita menghabiskan semua kemudian pergi. Punggung bungkuknya tidak lagi terlihat setelah keluar dari kedai. Ia sudah cukup rehat di desa itu, ia kembali mencari apa yang dia inginkan. Dan orang-orang, kembali ke pekerjaan masing-masing. Tidak ada lagi yang mendengarkan cerita, dan kedia juga seperti semula, sepi tanpa pengunjung.
***
“Apakah tuan tukang cerita masih berkeliling dan membacakan cerita, Ma?”
“Tentu Nak, ia masih berkeliling tapi bukan untuk bercerita. Itu ia lakukan ketika berehat saja, setelah itu ia akan mencari.” Ibu itu mengelus kepala putranya.
“Kenapa ia ingin sekali bertemu dengan kematian, padahal setiap orang ingin hidup lebih lama.”
“Entahlah Nak, hanya ia yang tahu.” Ibu itu mengecup kening putranya, menyelimutinya dan lampu dimatikan. Putranya mulai tertidur dengan bayang-bayang ia akan bertemu dengan tuan tuang cerita untuk menceritakannya sebuah cerita.
Prenduan, 09 September 2018.