“KETIKA SI BISU MEMBACA PUISI”

Ia selalu datang sendirian, memilih kursi yang berhadapan jendela di pojokan kiri. Entah apa yang dipandanginya. Apakah cabang Flamboyan yang tercancang dan hanya berbunga setahun sekali di luar itu membuatnya jatuh cinta, atau ia sedang menangkap ramalan dari arakan awan di bentang langit siang.

Ia selalu menggunakan kacamata berbingkai bulat, duduk dengan khusuk menikmati bacaan yang sama. Entah apa yang ada di kepalanya, namun aku tak habis pikir bagaimana seseorang tak bosan menyalurkan konsentrasi dengan kegiatan yang sama, setiap minggu.

Di balik itu semua, aku sangat suka ketika garis bibir yang tipis itu naik. Bukankah seseorang artinya bahagia bila ia tersenyum? Ia membuatku tanpa sadar ikut tersenyum, sehingga, kini aku jadi akrab dengan apapun yang ia lakukan di sini. Tanpa meminjam apapun selama empat bulan ini, setiap siang di akhir pekan, ia pasti berada di sana, di bagian sudut dengan muka menghadap jendela.

Perempuan itu macam stimulus yang membuat saraf paham kenyang tanpa lapar, bugar badan tanpa tahu apa itu letih. Namun apa yang dilakukannya di sini? Lebih baik menghabiskan waktu di cafe yang ramai, menonton film bersama kawan, menghabiskan waktu di pusat perbelanjaan yang mampu mendekatkan diri pada kesenangan dunia. Ini hanya perpustakaan dengan buku-buku tua. Perpustakaan berisi keheningan, lalu lalang debu, yang harus aku bersihkan setiap hari. Perpustakaan yang mungkin sebentar lagi akan ditutup karena sepi pengunjung.

Entahlah. Pertanyaan-pertanyaan terus menggelitik dari dalam. Perempuan itu memberikanku manis yang tak tertakar. Aku bahkan tak tahu siapa namanya. Tak mengapa. Sebagai petugas kebersihan, untuk pertama kalinya aku merasa beruntung.