JEP Divonis 12 Tahun, Tim Kuasa Hukum Beberkan Kejanggalan

Tim kuasa hukum JEP akan menempuh permohonan banding atas vonis yang dijatuhkan majelis hakim. (MVoice/M. Noer Hadi)

MALANGVOICE – Terdakwa Julianto Eka Putra (JEP) divonis 12 tahun penjara serta denda Rp300 juta subsidair 3 bulan kurungan. Selain itu, menghukum terdakwa membayar restitusi kepada saksi korban senilai Rp44.744.623.

Amar putusan dibacakan Ketua Majelis Hakim PN Malang, Harlina Payes saat sidang agenda pembacaan putusan yang digelar sejak pukul 09.30 dan berakhir sekitar pukul 12.30 (Rabu, 7/9).

Dalam amar putusannya, majelis hakim menyatakan, terdakwa bersalah melakukan tindak pidana dengan sengaja melakukan tipu muslihat atau membujuk anak-anak untuk melakukan persetubuhan.

Baca juga: Divonis 12 Tahun Penjara, Terdakwa JEP Ajukan Banding

Terdakwa melanggar ketentuan pasal 81 ayat (2) UU nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak sebagaimana diubah beberapa kali dengan UU 17 tahun 2016 tentang perlindungan anak juncto pasal 64 ayat (1) KUHP.

Hotma Sitompul, Tim Kuasa Hukum terdakwa JEP menghargai putusan pengadilan. Meski begitu, pihaknya menegaskan bahwa kliennya belum bisa dikatakan sepenuhnya bersalah sebelum ada putusan peradilan tingkat akhir di Mahkamah Agung. Pihaknya akan menempuh langkah hukum berupa permohonan banding.

“Putusan PN Malang belum memiliki kekuatan hukum tetap karena kami akan mengajukan banding. Jangan teriak-teriak bersalah dulu, seperti yang disampaikan Ketua Komnas PA, Arist Merdeka Sirait. Ini penting disampaikan, agar masyarakat tahu,” tukas Hotma.

Baca juga : Majelis Hakim PN Malang Vonis 12 Tahun Penjara Terdakwa JEP

Pernyataan sikap permohonan banding langsung disampaikan terdakwa JEP melalui tim kuasa hukumnya sesaat setelah vonis dibacakan majelis hakim.

Menurut Hotma, ada beberapa hal mendasar alasan permohonan banding. Salah satunya, yakni keterangan 10 saksi yang dihadirkan kuasa hukum terdakwa dikesampingkan.

“Padahal 10 saksi yang kami hadirkan sudah diambil sumpah tapi dikesampingkan. Sementara pelapor hanya membawa 2 saksi dan itu dijadikan bahan pertimbangan. Sebetulnya ini masalah perspektif,” imbuh Hotma.

Baca juga : Pengacara Terdakwa JEP Sebut ‘Hakim Jalanan’ Giring Opini Publik

Di sisi lain, Jeffry Simatupang yang termasuk dalam tim kuasa hukum terdakwa berkomentar, bahwa ada beberapa kejanggalan dalam kasus yang menimpa kliennya, JEP. Kejanggalan itu terlihat saat awal-awal perkara ini mencuat dan masih proses di tingkat penyidikan.

Beberapa kejanggalan yang ia beberkan yakni bukti yang disampaikan kepada penegak hukum hanya berdasarkan cerita atau tuduhan dari orang lain.

Berdasar hal itu, belum bisa dikatakan tidak memiliki bukti nyata. Bahkan satu orang menyatakan bahwa tidak ada pemerkosaan atau pelecehan yang dilakukan kliennya.

Baca juga : Pengelola SMA SPI Tak Ingin Layanan Pendidikan Terganggu dengan Kasus Hukum JEP

“Belum lagi, jumlah korban yang melapor terus berkurang. Awalnya 60 orang jadi 40 orang, kemudian berkurang lagi 15 orang. Hingga akhirnya cuma 1 orang pelapor saja,” ujar Jeffry.

Kejanggalan lainnya yang menjadi perhatian kuasa hukum JEP, yakni kasus ini baru dilaporkan sekitar 12 tahun lamanya dari kejadian.

Hal itu juga akan mempengaruhi hasil visum keperawanan yang dijadikan sebagai alat bukti. Terlebih, lanjut Jeffry, pelapor memiliki hubungan asmara dengan RB sejak 2014 silam.

“Dua pekan sebelum pelaporan, pelapor dan RB tinggal bersama dan pindah-pindah hotel. Bahkan sampai waktu pelaporan, keduanya masih bekerja di SMA SPI. Masih terlihat enjoy tanpa ada upaya kabur kalau memang benar ada pelecehan berulang,” ungkap Jeffry.

Baca juga : JPU Kejari Batu Sangkal Pembelaan Kuasa Hukum Terdakwa JEP

Ia juga berkomentar, bahwa pelapor dan pacar pelapor berinisial RB terlihat bahagia selama mengenyam pendidikan hingga melanjutkan bekerja di SMA SPI. Pelapor juga merekomendasikan kepada saudara maupun kerabatnya agar bersekolah di SMA SPI. Hal itu menimbulkan keanehan di mata kuasa hukum terdakwa.

“Tidak mungkin memberikan rekomendasi semacam itu kalau memang ada pelecehan seksual yang katanya dialami pelapor saat masih sekolah. Anehnya, malahan pelapor melamar kerja di Yayasan SPI dan sudah bekerja sekitar 10 tahun lamanya,” tutur Jeffry.

Atas dasar itu, tim kuasa hukum JEP menyangsikan laporan pelapor terkait dugaan pelecehan seksual. Terlebih, kata Jeffry, SMA SPI termasuk lembaga pendidikan terpandang di Kota Batu serta sejak awal berdiri sudah menjalin sinergitas dengan berbagai institusi pemerintah.

“Sekolah ini memberikan kebebasan aktivitas bagi peserta didiknya untuk mengembangkan potensi diri. Kalau memang ada pelecehan seksual kenapa baru melapor sekarang,” pungkas dia.(end)