MALANGVOICE – Dugaan serangan persetubuhan di SMA Selamat Pagi Indonesia (SPI) Kota Batu membuat khalayak ramai tercengang.
Pelakunya ditudukan pada pendiri lembaga pendidikan itu, Julianto Eka Putra (JEP) yang kini menyandang status terdakwa. Perkara ini masuk tahap persidangan di Pengadilan Negeri Malang. Dijadwalkan, agenda pembacaan tuntutan jaksa penuntut umum digelar pada 20 Juli nanti.
Terungkapnya skandal ini, setelah para siswi yang menjadi korban, didampingi Komnas Perlindungan Anak melapor ke Polda Jatim pada 29 Mei 2021 lalu. Sejak saat itu, satu per satu korban pun buka suara menceritakan pengalaman getirnya.
Terbaru, kesaksian diberikan dua mantan siswi SMA SPI melalui podcast Deddy Corbuzier. Pengakuan korban itu pun mendapat beragam reaksi dari publik.
Kepala SMA SPI Kota Batu, Risna Amalia Ulfa mengaku, segala polemik yang muncul, membawa dampak psikis bagi murid-murid maupun pengajar di sekolah berkonsep boarding school itu. Beban psikis semakin bertambah, tatkala pihak keluarga peserta didik kerap melontarkan pertanyaan atas desas desus yang beredar di jagat maya.
“Pihak keluarga khawatir, menanyakan kondisi anak-anaknya di sini. Dan, anak-anak ini merasa baik. Pastinya, jika merasa tidak aman dan nyaman, mereka nggak minat, akhirnya nggak betah dan minta pulang. Toh buktinya, masih bertahan sampai sekarang,” ungkap Risna.
Ia mengatakan, saat ini aktivitas di lingkungan SMA SPI berjalan kondusif. Beban psikis yang membayangi perlahan-lahan bisa diatasi. Pengelola yayasan maupun pengajar bertekad agar program pendidikan tetap berjalan. Terlebih, kata Risna, berdirinya SMA SPI pada 2007 silam, murni ingin membantu anak-anak dari kalangan keluarga kurang mampu.
“Prinsipnya, kami ingin anak-anak kurang mampu dari berbagai daerah bisa melanjutkan pendidikan yang layak, aman dan nyaman,” tutur Risna.
Risna mengatakan, metode pembelajaran masih dalam koridor kurikulum pendidikan sesuai peraturan pemerintah. Para peserta didik tak hanya dibekali materi akademik. Namun juga, diarahkan mengasah keterampilan sebagai bekal hidup. Seperti pendidikan kewirausahaan. Pernyataan itu menanggapi atas tuduhan eksploitasi ekonomi kepada pengelola SMA SPI.
“Tidak ada eksploitasi ekonomi. Justru undang-undang, menginginkan peserta didik bisa berkreativitas menumbuhkan potensi dirinya,” kata Risna menyanggah.
Risna mengatakan, sejak didirikan 2007 lalu, SMA SPI meluluskan 13 angkatan. Pada tahun ajaran baru 2022/2023 menerima 40 peserta didik baru dari berbagai daerah di Indonesia. Mereka akan tiba di asrama pada 11 Juli nanti.
“Kami menampung anak-anak dari berbagai daerah dan latar belakang agama beragam. Kriteria mutlak, pastinya mereka dari keluarga kurang mampu agar bisa mengakses pendidikan,” kata dia.(der)