Refleksi Akhir Tahun FISIP UB, Bahas Penanganan Covid-19 dan Ketimpangan Vaksin Global

Refleksi Akhir Tahun FISIP UB. (Istimewa)

MALANGVOICE – FISIP Universitas Brawijaya (UB) menggelar refleksi akhir tahun, Selasa (9/11). Dalam acara yang digelar hybrid ini membahas manajemen krisis penanganan Covid-19 di Indonesia dalam perspektif nasional dan internasional.

Pantri Muthriana Erza Killian Ph.D, dosen Hubungan Internasional FISIP UB selaku pembicara mengatakan, dalam penanganan Covid-19 di Indonesia sudah cukup baik termasuk dalam kerja sama global.

Keterlibatan perusahaan, universitas, lembaga riset, organisasi nirlaba hingga lembaga masyarakat sipil menunjukkan adanya dimensi solidaritas sosial yang muncul ketika dunia dihadapkan pada krisis kolektif seperti sekarang. Namun tetap ada 3 paradoks yang terjadi pada proses kerjasama global ini.

Menurut Erza, pertama internasionalisme adalah semangat kerjasama yang ingin diusung secara global, namun nasionalisme justru semakin menguat.

Kemudian kedua, pemerataan diharapkan menjadi tujuan utama dari skema global yang digagas, namun ironisnya ketimpangan justru semakin tinggi. Dan terakhir retorika terkait kerja sama banyak digaungkan secara masif namun kompetisi global justru semakin tajam.

“Tiga paradoks ini menjadi poin penting dalam melihat kesesuaian antara retorika dengan realita global yang ada,” papar lulusan University of Leeds ini.

Beberapa kejadian paradoks yang terjadi seperti Inggris yang sudah mengamankan stok lima dosis per orang padahal ada negara lain yang masih kekurangan stok vaksin.

“Selain membahayakan kelompok rentan di banyak negara, nasionalisme vaksin seperti ini juga berpotensi untuk memperlambat pemulihan ekonomi di masa pandemi,” sambung Erza.

Bentuk paradoks yang lain seperti 71,5% populasi di negara berpendapatan tinggi telah mendapatkan minimal satu dosis vaksin berbanding dengan hanya 3,6% di negara berpendapatan rendah.

Paradoks ketiga kata Erza adalah bagaimana kerjasama global terus didorong, namun di sisi lain, kompetisi justru semakin tajam.

“Kompetisi untuk mendapatkan vaksin adalah satu bentuk yang paling dominan di tahun 2021, selain juga kompetisi atas sumberdaya ekonomi yang menjadi semakin terbatas,” ucapnya.

Lalu bagaimana dengan Indonesia? Erza menilai bisa dilihat melalui dua lensa. Pertama, melihat kemampuan Indonesia dalam menciptakan keamanan kesehatan dalam negeri dan kedua menilai kontribusi Indonesia di tingkat global.

“Kunci keberhasilan Indonesia dalam menurunkan angka penyebaran Covid-19 adalah angka vaksinasi yang tergolong tinggi,” ucapnya.

Jika dihitung berdasarkan persentase populasi, Indonesia sesungguhnya masih berada di bawah rata-rata global, yakni di angka 43.30%. Namun secara angka absolut, Indonesia telah berhasil memvaksinasi sedikitnya 119 juta warga hingga 31 Oktober 2021.

Bagi Erza, unit-unit diplomasi Indonesia berhasil memastikan ketersediaan stok vaksin dalam negeri sekaligus mendorong kerjasama untuk membangun kemandirian industri vaksin.

“Harus diakui bahwa untuk pemenuhan ketahanan kesehatan domestik, mesin-mesin diplomasi Indonesia telah menunjukkan performa yang baik selama satu tahun terakhir dan untuk itu, kita layak berterima kasih,” jelas lulusan magister The University of Queensland ini.

Namun menurut Erza kiprah Indonesia di dalam luar negeri tak sebaik di dalam negeri. Indonesia yang cukup aktif dalam skema COVAX Advanced Market Commitment tak mampu mengatasi masalah global tentang masalah ketimpangan vaksin.

“Posisi Indonesia di COVAX lebih banyak digunakan untuk mengamankan stok vaksin dalam negeri dibanding mendorong pemerataan vaksin global,” sambung Erza.

Erza menyatakan posisi Indonesia memang dilematis. Termasuk yang juga dialami negara negara lain.

“Karena pada dasarnya, ketika dihadapkan pada situasi krisis, negara akan cenderung memilih untuk menyelamatkan dirinya terlebih dahulu,” jelasnya.

Di akhir paparannya, Erza meminta tak ada lagi warga yang meninggal karena Covid-19. Indonesia sudah kehilangan lebih dari 143.000 jiwa.

“Kepada merekalah kita behutang untuk menjaga Indonesia dan mewujudkan dunia yang lebih aman. Ini adalah hutang yang perlu kita bayar lunas, bukan hanya untuk Indonesia, tapi untuk seluruh warga di dunia,” pungkasnya.(der)