Kondisi Psikologis Keluarga Kota Batu Selama Pandemi Masuki Fase Adaptasi

Konselor/Psikolog Puspaga Mitra Bhakti, Yumie Astuti saat diwawancarai Malangvoice.com (Achmad Sulchan An Nauri)

MALANGVOICE – Selama hampir satu tahun pandemi covid-19 menerpa, Kota Batu sudah memasuki fase adaptasi. Hal ini disampaikan Psikolog/Konselor Pusat Pembelajaran Keluarga (PUSPAGA) Mitra Bhakti, Kota Batu, Yumie Astuti.

“Memang di awal-awal pandemi ada perubahan perlika keluarga, yaitu shock atau kaget,” jelas Yumie saat diwawancari di kantornya, Senin (30/11). Ia menambahkan bahwa ekonomi anjlok, pekerjaan terhambat dan anak ada 24 jam di rumah membuat mereka bingung dan blank harus berbuat apa.

Yumie mengatakan bahwa keluhan yang disampaikan kepada pihaknya adalah permasalahan pembelajaran daring. “Mereka harus merangkap peran sebagai orang tua dan guru, dan sepertinya banyak yang tidak siap,” tambahnya.

Ditambah lagi banyak orang tua yang hanya mempunyai satu handphone. Hanphone itu juga menjadi sumber jualan bagi orang tua yang pekerjaannya terhenti.

“Mereka jadi berebut dengan anak-anaknya yang harus sekolah daring,” imbuhnya. Hal itu membuat banyak keluarga Kota Batu berada dalam keadaan stress.

Namun, menurut Yumie, saat ini sudah memasuki fase adaptasi. Ada yang adaptasinya cepat juga ada yang perlu bantuan agar bisa beradaptasi.

“Ada yang merasa hopeless menganggap masalah sebagai musibah,” ujar Yumie. Orang yang merasa hopeless itu hanya mengandalkan pertolongan dan bantuan sehingga tidak menggali potensi yang dimiliki agar survive.

Ia mengatakan bahwa siapapun yang berada dalam kondisi mencekam karena terkena bencana untuk melakukan assesment. Agar bisa mengetahui potensinya apa dan dapat keluar dari permasalahan dengan berdaya atas diri sendiri.

Yumie memberi contoh salah satu pasien perempuannya yang diceraikan sepihak oleh suaminya. Ia memiliki tiga anak dan tidak mempunyai pekerjaan.

Puspaga memberi saran untuk mengikuti pelatihan menjahit yang diadakan oleh DPMPTSPTK. Saat ini pasiennya sudah dapat berdaya dengan menjadi tukang jahit.

“Jadi memang perlu mengetahui potensi pribadi agar selalu dapat berdaya atas diri sendiri,” imbuhnya.

Yumie mengatakan bahwa Puspaga membuka konseling 24 jam melalui WA. Jika masalah yang diderita seseorang dirasa sangat berat maka akan ditreatment secara khusus.

“Kita memang tidak mampu untuk menampung seluruh keluhan secara langsung,” jelas Yumie. Maka ia membentuk perpanjangan tangan di seluruh desa di Kota Batu bernama Pelopor Pelapor (PP).

Dengan adanya PP, Puspaga tidak berdiri sendiri. “Jadi mereka bisa mengatasi masalah dari desa mereka sendiri dengan edukasi yang telah kami berikan,” tandasnya.(der)