Ketua PWI Pusat: UU KUHP Pasung Demokrasi

Dewan Pers mencatat sejumlah pasal dalam UU KUHP yang mengancam kemerdekaan pers. (MVoice/gettyimages.com)

MALANGVOICE–Sejumlah pasal dalam UU KUHP yang disahkan Pemerintah dan DPR pada 6 Desember lalu memasung prinsip-prinsip demokrasi.

Ada beberapa pasal krusial yang dicermati Dewan Pers karena menjadi ancaman bagi pers dan wartawan sebagai pilar keempat demokrasi mengontrol kebijakan pemerintah.

Ketua PWI Pusat, Atal S Depari berpendapat pengesahan UU KUHP lebih cenderung memasung masyarakat sipil dalam kehidupan negara berdemokrasi. Namun bukan suatu persoalan yang perlu dikhawatirkan ketika dihadapkan pada kerja-kerja jurnalistik yang dilindungi secara lex spesialis melalui UU nomor 40 tahun 1999 tentang pers.

“Sebenarnya tidak masalah, selama insan pers menjalankan kode etik dan mengikuti UU Pers. Persoalannya, UU KUHP mengebiri prinsip demokrasi, semisal pasal penghinaan kepada presiden, wakil presiden maupun pemerintah,” ucap Atal kepada Malangvoice.com saat dikonfirmasi melalui sambungan telepon (Jum’at, 9/12).

Baca juga:
BLT dari DBHCHT Sebesar Rp16 Miliar Segera Cair

Mengenal Djoni Sudjatmoko Calon Ketua KONI Kota Malang yang Peduli Olahraga

Wasto Nyatakan Dukung Djoni Sudjatmoko Jadi Ketua KONI Malang

Honda CB150X City Fun di Malang Berlangsung Seru

Sekalipun bukan ancaman bagi kemerdekaan pers, Atal menyebutkan, Dewan Pers akan mengajukan gugatan UU KUHP ke Mahkamah Konstitusi mengingat ada beberapa pasal yang mengerdilkan semangat demokrasi.

“Persoalan secara umum, UU KUHP menyandera hak-hak demokrasi warga negara. Semisal ada 500 orang yang berkomentar di medsos, komentarnya dinilai menghina presiden, masa 500 orang itu dipenjara semua,” seru dia.

Sementara itu, melalui siaran pers Dewan Pers mencatat ada 11 pasal UU KUHP yang berpotensi mengkriminalisasi wartawan, mengancam kemerdekaan pers, kemerdekaan berpendapat, dan berekspresi. Antara lain pasal 188 yang mengatur tentang tindak pidana penyebaran atau pengembangan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme. Berikutnya pasal 218, pasal 219, dan Pasal 220 yang mengatur tindak pidana penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat Presiden dan Wakil Presiden.

Baca juga:
Cegah Stunting, Mahasiswa Tanam Seribu Pohon Kelor

Gakkumdu Kota Batu Dibentuk Tindak Pelanggaran Pemilu

Perkara Pembongkaran Stadion Kanjuruhan Naik ke Penyidikan, Polisi Periksa 11 Saksi

Selain itu, pasal 240 dan pasal 241 yang mengatur tindak pidana penghinaan terhadap pemerintah. Pasal 263 yang mengatur tindak pidana penyiaran atau penyebarluasan berita atau pemberitahuan bohong. Pasal 264 yang mengatur tindak pidana kepada setiap orang yang menyiarkan berita yang tidak pasti, berlebih-lebihan, atau yang tidak lengkap. Pasal 280 yang mengatur tentang gangguan dan penyesatan proses peradilan. Pasal 300, Pasal 301, dan Pasal 302 yang memuat tentang tindak pidana terhadap agama dan kepercayaan. Pasal 436 yang mengatur tindak pidana penghinaan ringan. Pasal 433 mengatur tindak pidana pencemaran. Pasal 439 mengatur tindak pidana pencemaran orang mati Serta pasal 594 dan Pasal 595 mengatur tindak pidana penerbitan dan pencetakan.

“Kami menilai ketentuan-ketentuan yang dimuat dalam RUU KUHP yang baru disetujui oleh Pemerintah dan DPR untuk disahkan menjadi UU KUHP itu tidak hanya mengancam dan mencederai kemerdekaan pers, namun juga berbahaya bagi demokrasi, kebebasan beragama dan berkeyakinan, serta pemberantasan korupsi,” kata Arif Zulkifli, Ketua Komisi Hukum dan Perundang-Undangan Dewan Pers.

Dewan Pers menyayangkan keputusan itu diambil dengan mengabaikan minimnya partisipasi dan masukan masyarakat, termasuk komunitas pers. Mengingat masih terdapat pasal-pasal krusial yang menjadi ancaman bagi pers dan wartawan.

Sejumlah pasal dalam UU KUHP tersebut sungguh mengancam kehidupan berdemokrasi di Indonesia. Kemerdekaan pers dan kebebasan berekspresi kini menghadapi upaya pembungkaman.

Pers sebagai pilar demokrasi yang bekerja untuk memenuhi hak masyarakat atas informasi yang bermakna akan lumpuh karena berhadapan dengan ancaman kriminalisasi oleh pasal-pasal UU KUHP.

Dalam demokrasi, kemerdekaan pers harus dijaga, salah satunya dengan memastikan tidak adanya kriminalisasi terhadap wartawan. Perlindungan itu dibutuhkan agar wartawan dapat bebas menjalankan tugasnya dalam mengawasi (social control), melakukan kritik, koreksi, dan memberikan saran-saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan.

Kemerdekaan pers terbelenggu karena UU KUHP itu dapat menjerat wartawan dan perusahaan pers sebagai pelaku tindak pidana ketika menjalankan tugas jurnalistik. Dewan Pers sebagai lembaga independen sebelumnya telah menyusun Daftar Inventaris Masalah (DIM) RKUHP terhadap pasal-pasal krusial yang menjadi ancaman terhadap pers dan wartawan.

Dewan Pers juga menyarankan reformulasi 11 cluster dan 17 pasal dalam RKUHP yang berpotensi mengancam kemerdekaan pers, sebagai upaya mencegah kriminalisasi. Namun masukan yang telah diserahkan ke pemerintah dan DPR tidak memperoleh feedback. Padahal, Dewan Pers juga menyampaikan saran agar dilakukan simulasi kasus atas norma yang akan dirumuskan.

Arif menambahkan, ketentuan-ketentuan pidana pers dalam KUHP, mencederai regulasi yang sudah diatur dalam UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers. Padahal unsur penting berdemokrasi adalah dengan adanya kemerdekaan berekspresi, kemerdekaan berpendapat, serta kemerdekaan pers.

“Dalam kehidupan yang demokratis, kemerdekaan menyampaikan pikiran dan pendapat sesuai dengan hati nurani dan hak memperoleh informasi, merupakan hak asasi manusia hakiki,” seru Arif.(end)