Kenaikan Tarif Ojol Berdampak Negatif bagi Driver?

Ratusan driver mengatasnamakan Asosiasi Driver Grab Malang Raya unjuk rasa di depan DPRD Kota Malang, Selasa (15/1). (Aziz Ramadani/ MVoice)
Ilustrasi Driver Ojek Online. (Aziz Ramadani/ MVoice)

MALANGVOICE – Kenaikan tarif ojek online (Ojol) yang berpedoman pada Keputusan Menteri Perhubungan (Kepmenhub) No. 348 Tahun 2019 tidak menjamin terjadinya peningkatan kesejahteraan pengemudi. Pasalnya, kenaikan tarif justru bisa menggerus permintaan ojol hingga 75 persen yang akhirnya bisa berdampak negatif pada pendapatan pengemudi.

Hal tersebut terungkap pada peluncuran hasil survei berjudul “Persepsi Konsumen terhadap Kenaikan Tarif Ojek Online di Indonesia” yang diselenggarakan oleh Research Institute of Socio-Economic Development (RISED). Penelitian ini dilakukan untuk menjawab pertanyaan publik tentang respon konsumen terhadap kebijakan kenaikan tarif yang berpedoman pada Kepmenhub No. 348 tahun 2019, sekaligus memberikan gambaran terkait willingness to pay (kesediaan
membayar) konsumen terhadap layanan Ojol.

Pelaksanaan survei dilaksanakan pada 3.000 konsumen pengguna Ojol yang tersebar di 9 wilayah di Indonesia yang mewakili ketiga zona yang diatur di dalam Kepmenhub tersebut yakni Jabodetabek, Surabaya, Bandung, Yogyakarta, Medan, Semarang, Palembang, Makassar, dan Malang.

Waktu penelitian dimulai dari 29 April hingga 3 Mei 2019, sedangkan nilai margin of error survei berada di kisaran 1,83 persen. Hadir dalam peluncuran hasil survei yaitu Ketua Tim Peneliti Rumayya Batubara, Ph.D (Ekonom Universitas Airlangga) dan Dr. Fithra Faisal (Ekonom Universitas Indonesia) sebagai narasumber sekaligus penanggap hasil riset.

Ketua Tim Peneliti Rumayya Batubara, Ph.D menjelaskan, tarif baru yang diatur Pemerintah per 1 Mei 2019 ini tidak mencerminkan tarif yang akan dibayar oleh konsumen. “Tarif atau biaya jasa yang tertera pada Kepmenhub No. 348 tahun 2019 merupakan tarif bersih yang akan diterima pengemudi. Artinya, tarif yang harus dibayar konsumen akan lebih mahal lagi, mengingat harus ditambah biaya sewa aplikasi,” jelas Rumayya.

Ekonom Unair tersebut mencontohkan bahwa dengan asumsi tambahan biaya sewa aplikasi sebesar 20%, tarif batas bawah yang harus dibayar oleh konsumen di Jabodetabek adalah sebesar Rp 2.500/km, bukan seperti yang tertera di Kepmenhub yang menyatakan Rp 2.000/km.

Kemudian, dari hasil survei RISED didapatkan kenaikan tarif berpengaruh terhadap pengeluaran konsumen setiap harinya. Menurut RISED, jarak tempuh rata-rata konsumen adalah 7-10 km/hari di Zona I (Jawa non-Jabodetabek, Bali, dan Sumatera), 8-11 km/hari di Zona II (Jabodetabek), dan 6-9 km/hari di Zona III (wilayah sisanya). Dengan skema tarif yang berpedoman pada Kepmenhub tersebut dan jarak tempuh sejauh itu berarti pengeluaran konsumen akan bertambah sebesar Rp 4.000-11.000/hari di Zona I, Rp 6.000–15.000/hari di Zona II, dan Rp 5.000-12.000/hari di Zona III.

“Bertambahnya pengeluaran sebesar itu sudah memperhitungkan kenaikan tarif minimum untuk jarak tempuh 4 km ke bawah. Jangan lupa tarif minimum juga mengalami peningkatan. Misalnya di Jabodetabek dari sebelumnya Rp 8.000 menjadi Rp 10.000-
12.500,” jelas Rumayya.

Rumayya mengatakan, bertambahnya pengeluaran sebesar itu akan ditolak oleh 47,6 persen kelompok konsumen yang hanya mau mengalokasikan pengeluaran tambahan untuk Ojol maksimal Rp 4.000-5.000/hari. Bahkan, sebenarnya ada pula 27,4 persen kelompok konsumen yang tidak mau menambah pengeluaran sama sekali.

“Total persentase kedua kelompok tersebut
mencapai 75 persen secara nasional. Jika diklasifikasikan berdasarkan zona maka besarannya adalah 67 persen di Zona I, 82 persen di Zona II, dan 66 persen di Zona III,” tambah Rumayya.

Sebagai tambahan, Rumayya juga menjelaskan bahwa rata-rata kesediaan konsumen di non Jabodetabek untuk mengalokasikan pengeluaran tambahan adalah sebesar Rp 4.900/hari. Jumlah itu lebih kecil 6 persen dibandingkan rata-rata kesediaan konsumen di Jabodetabek yang
sebesar Rp 5.200/hari. “Oleh karena itu, Pemerintah perlu berhati-hati dalam pembagian tarif berdasarkan zona. Daya beli konsumen di wilayah non-Jabodetabek yang lebih rendah tentu harus dimasukkan ke dalam perhitungan Pemerintah,” tegas Rumayya.

Terbatasnya kesediaan membayar konsumen didorong oleh 75,2 persen konsumen yang berasal dari kelompok ekonomi menengah ke bawah. “Selain itu, faktor tarif ternyata menjadi pertimbangan utama bagi keputusan konsumen untuk menggunakan Ojol. Sebagai bukti, sebanyak 52,4 persen
konsumen memilih faktor keterjangkauan tarif sebagai alasan utama. Jauh mengungguli alasan lainnya seperti fleksibilitas waktu dan metode pembayaran, layanan door-to-door, dan keamanan. Oleh karena itu, perubahan tarif bisa sangat sensitif terhadap keputusan konsumen,” tambah Rumayya.

Sementara itu, Ekonom UI Dr. Fithra Faisal menyayangkan momentum kenaikan tarif Ojol yang terjadi sesaat sebelum Bulan Ramadan. Seperti diketahui, inflasi cenderung meningkat saat Bulan Ramadan dan Hari Raya Idul Fitri tiba, menyusul tingginya permintaan masyarakat bagi sejumlah komoditas seperti makanan/minuman dan sandang. “Kenaikan tarif ojol yang cukup tinggi tentunya akan berkontribusi bagi semakin tingginya tingkat inflasi. Apalagi berdasarkan hasil survei RISED, biaya pengeluaran transportasi sehari-hari berkontribusi sekitar 20% bagi pengeluaran konsumen per bulannya,” ujar Fithra.

Rumayya menambahkan, Pemerintah hendaknya mengevaluasi regulasi tarif dalam bisnis Ojol. Pada akhirnya, berkurangnya permintaan Ojol tidak hanya akan menggerus manfaat yang diterima masyarakat dari sektor ini, tapi juga akan berdampak negatif pada penghasilan pengemudi karena konsumen enggan menggunakan Ojol lagi. “Sudah saatnya Pemerintah mendasarkan pembuatan kebijakan pada bukti-bukti statistik mengenai kondisi objektif yang terjadi di masyarakat. Selain itu, perlu evaluasi berkala dalam jangka waktu yang tidak terlalu panjang, supaya bisa meninjau efektivitas kebijakan terhadap kesejahteraan konsumen dan pengemudi,” tutup Rumayya. (Der/Ulm)