MALANGVOICE – Desa Wonokitri Kecamatan Tosari, Kabupaten Pasuruan tampaknya layak jadi proyek percontohan desa wisata nasional.
Desa yang awalnya dihuni para petani Suku Tengger ini, melalui kelompok tani (Poktan) Hulun Hyang mampu menghasilkan hampir Rp1 miliar atau Rp800 juta pada 2022.
Semua itu berawal dari sosok bernama Teguh Wibowo pada 2016 yang jatuh bangun mengembangkan edelweiss.
Baca Juga:
Temuan yang menjelaskan Manusia di Kebun Tebu Kepanjen, Polisi: Analisis Korban Laki-laki
Jaring Atlet Tinju Berbakat, Rocky Fight Series 3 Digelar di Kota Batu
Tahun 2023 Targetkan Peta Tunggal Lengkap Terwujud
“Saat itu banyak yang pesimis dan tidak percaya edelweiss bisa dibudidayakan sekaligus dikembangkan untuk memenuhi upacara kami,” cerita Teguh yang didapuk menjadi Ketua Poktan Hulun Hyang kepada Mvoice, Sabtu (7/1) lalu.
Selain memenuhi persembahyangan Suku Tengger, Taman Edelweiss ini awalnya juga untuk menarik wisatawan yang pergi atau pulang dari Bromo.
Di Bromo yang masuk Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS), terdapat tiga jenis edelweiss, yakni anaphalis javanica, anaphalis visida, anaphalis longifolia.
Baca Juga:
STB Gratis Tak Asal Dibagikan
Plt Direktur RSUD Kanjuruhan Akui Tidak Penuhi Target PAD
Perppu Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja: Bentuk Pembangkangan Konstitusi
Sementara di dunia masih ada dua jenis edelweiss lain yang terkenal. Leontopodium Alpinum yang hanya tumbuh di pegunungan Alpen (Eropa) dan Leucogenes Grandiceps atau dikenal dengan edelweiss New Zealand.
“Setelah viral di media sosial, sekarang justru banyak wisatawan yang tujuan utamanya ke Taman Edelweiss sehingga kami kewalahan melayani mereka,” terangnya.
Salah satu bentuk kewalahan versi Teguh seperti atap kafe yang kurang lebar untuk menampung wisatawan.
“Di sini kan sering hujan. Kami belum memiliki tempat yang bisa menampung wisatawan agar tidak kehujanan,” ujarnya.
Baca Juga:
Gaji Awal Tahun Molor, pedesaan ASN Gigit Jari
100 Hari Tragedi Kanjuruhan, Manajemen Arema Gelar Doa Bersama
Ancang-ancang Naikkan Tarif Retribusi Air 2,5 Persen untuk Kategori Niaga dan Industri
“Begitu juga kami butuh genset agar jika sewaktu-waktu listrik mati, proses pelayanan seperti membuat minuman atau WIFI tetap berjalan,” sambungnya.
Teguh kemudian meneruskan ceritanya, pada 2019 Bank Indonesia Malang naik gunung membantu Poktan Hulun Hyang membangun cafe dengan segala pernik-perniknya di lahan kosong milik desa.
Tidak hanya itu, BI Malang juga memberi pelatihan manajemen agar masyarakat Tengger ini bisa mengelola Taman Edelweiss dengan baik.
Belum lagi pelatihan budidaya edelweiss dari kampus-kampus yang ada di Malang sehingga edelweiss bisa berubah menjadi rangkaian bunga yang cantik.
Kini di awal pengujung 2023, Taman Edelweiss di kaki pegunungan Tengger menampakkan wajah yang makin eksotik dan menarik.
Di taman ini tak hanya menyuguhkan hamparan edelweiss sekaligus edukasi dan pemandangan alam yang menyejukkan mata.
Kafe dengan aneka suguhan kuliner dengan tempat duduk yang nyaman serasa di atas awan makin memanjakan wisatawan. Lereng hutan pinus serta kabut yang silih berganti datang menyamankan suasana hati sambil menikmati segelas kopi dengan berbagai varian, wedang jahe, teh, mie instan dan beberapa macam lagi kudapan.
Geliat perubahan ekonomi yang membaik setelah para petani berkembang menjadi pengelola desa wisata mulai tampak nyata.
Siapa sangka para petani tersebut melalui Poktan Hulun Hyang pada 2022 lalu mampu mengumpulkan omset Rp 814.836 juta. Wisatawan yang datang pun melonjak tajam, mencapai 38.836 orang.
Omset ratusan juta rupiah itu berasal dari kafe yang menghasilkan Rp 434.000.000. Ditambah hasil dari voucher Rp380.836 juta. Belum lagi dengan penjualan rangkaian bunga edelweiss sebesar Rp 15 juta per tahun.
“Kami menyumbangkan pendapatan asli desa (PAD) 10 persen dari voucher sebesar Rp 38.083.600,” kata Teguh menunjukkan hasil kerja keras mereka membawa manfaat untuk desa.
Teguh optimistis Taman Edelweiss yang sekarang dilengkapi toilet dan musala pada 2023 omsetnya naik menjadi Rp1 miliar.
Tengger dan Edelweiss
Bagi masyarakat Tengger, edelweiss memang menjadi sajian utama saat upacara adat penuh kesakralan. Tumbuhan yang menjadi lambang cinta sejati ini hanya bisa tumbuh di ketinggian rata-rata 2.000 di atas permukaan laut.
Pemerintah mengeluarkan peraturan larangan memetik edelweiss melalui Undang Undang Nomor 5 Tahun 1990 pasal 33 ayat 1 dan 2 tentang Konservasi Sumber daya Hayati Ekosistem. Bahkan, bagi yang memetik bunga edelweiss dapat dikenai hukuman penjara atau denda.
Jika terbukti memetik edelweiss dikenakan hukuman penjara paling lama lima tahun dan denda paling banyak Rp100 juta.
Adapun isi pasal tersebut berbunyi “Setiap orang dilarang melakukan hal yang tak sesuai sesuai dengan fungsi pemanfaatan zona dan zona lain dari taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam“.
Teguh menyebut ada beberapa alasan yang mendasari larangan memetik edelweiss. Salah satunya karena bunga ini ada di kawasan konservasi yang intinya segala sesuatu baik hewan maupun tumbuhan di kawasan konservasi dilindungi secara undang-undang.
Hanya saja UU tentang konservasi itu tidak berlaku di Desa Wisata Edelweiss karena Poktan Hulun Hyang memiliki izin budidaya edelweiss dari Kementerian Lingkungan Hidup.
Dengan kata lain, masyarakat luas yang ingin memiliki edelweiss sebaiknya berhubungan dengan Poktan Hulung Hyang, karena para petani asli warga Tengger ini memiliki izin resmi dari pemerintah.
Berada di lahan seluas 1.196 m2, sekitar Taman Edelweiss ini memiliki spot-spot yang eksotis untuk menjadi tempat berfoto.
Kepala BI Malang, Samsun Hadi, di depan awak media Samemuji Teguh dan kawan-kawan yang mampu mengelola Taman Edelweiss ini.
“Bahkan laporan pembukuan keuangan seperti kaum profesional. Sangat rapi layaknya akuntan,” pujinya.
Samsun pun berjanji membantu pengembangan Taman Edelweiss dengan pelatihan-pelatihan seperti kuliner khas Tengger, dan sebagainya.(end)