Kehilangan 60 Sumber Mata Air, Pemkot Batu Perlu Perketat Pengawasan Lingkungan Hidup

Situasi diskusi peringatan HAM sedunia di Sumber Gemulo, Kecamatan Bumiaji, Kota Batu (Achmad Sulchan An Nauri)

MALANGVOICE – Berdasarkan data dari IMPALA Universitas Brawijaya (UB) Kota Malang, dari total 111 sumber mata air yang telah didata pada tahun 2013 di Kota Batu, saat ini menyusut hingga menyisakan 51 titik saja. Selain itu yang masih konsisten dengan debit air yang besar hanya 28 titik saja.

Lingkungan Hidup Kota Batu yang berada di lereng pegunungan sangat berpengaruh bagi Kota-Kota di bawahnya. Pasalnya banyak yang menggantungkan kebutuhan hidup terutama air dari Kota Apel ini.

Pada peringatan hari Hak Asasi Manusia (HAM) sedunia ini MCW, Walhi, Nawak Alam Gemulo, dan beberapa masyarakat sipil Kota Batu mengadakan diskusi di kawasan Sumber Air Gemulo, Kecamatan Bumiaji, Kota Batu (10/12). Diskusi itu membahas tentang perampasan lingkungan hidup di Kota Batu yang melanggar HAM.

“Hak untuk bisa hidup di lingkungan sehat serta kebutuhan air yang terjamin itu sudah dijamin oleh UUD NKRI Tahun 1945 Pasal 28H,” jelas Manager Kampanye Walhi Jawa Timur, Wahyu Eka. Ia mengatakan apa saja tindakan yang melanggar undang-undang tersebut merupakan tindakan melanggar HAM.

Lingkungan sehat dan air yang bersih menurut Wahyu adalah hak dasar manusia yang harus dipenuhi. Maka perlindungan mata air di Kota Batu harus diperketat.

“Karena, perusakan lingkungan di Kota Batu ini tidak hanya berdampak bagi warga Kota Batu namun bagi Kota Malang, Pasuruhan dan banyak kota di bawahnya,” tambahnya. Sehingga urgensi untuk melindungi sumber mata air di Kota Batu benar-benar harus ditegakkan.

Ia melihat bahwa pemerintah pusat maupun daerah tidak mengarah ke sana. Dilihat dari pembangunan di Kota Batu untuk nilai ekonomis semakin masif.

Ditambah lagi Omnibus Law yang dinilai tidak menjamin keberlangsungan lingkungan hidup yang ada di Indonesia. “Zonasi dalam undang-undang cipta kerja akan membuka gerbang untuk eksploitasi masif yang tidak transparan dan hanya untuk komersil saja tanpa memperhatikan nilai ekologis,” paparnya.

Ia menilai banyak frasa-frasa dalam undang-undang yang menjebak dan membatasi. “Dalam undang-undang itu yang dapat protes terhadap kerusaka lingkungan hidup hanya wilayah sekitar yang terdampak,” jelasnya.

Hal ini mengakibatkan jika salah satu sumber di desa Kota Batu mati, maka yang bisa protes hanya desa itu. Padahal yang terdampak bisa sampai Malang, Pasuruhan dan Kota-Kota lainnya.

Sementara itu, salah satu Nawak Alam Gemulo, Pradipta Indra mengatakan bahwa Pemkot Batu harus mengacu pada Kepres No. 32 Tahun 1990. Yang isinya antara lain, pembangunan di sekitar sumber hanya boleh dibangun pada luaran radius 200 meter.

“Karena sumber mata air itu merupakan wilayah konservasi yang tidak boleh dibangun untuk nilai-nilai ekonomis yang tidak memperhatikan faktor ekologis,” jelasnya. Ia mengatakan bahwa Pemkot Batu harus mengacu aturan itu untuk melindungi lingkungan hidup di Kota Batu.

Ia menilai di Kota Batu ini banyak sumber mata air yang hilang karena Pemkot seperti memegang prinsip bangun dulu izin kemudian. “Seharusnya Pemkot melakukan pengawasan, pengontrolan hingga penindakan bagi pelanggar yang merusak lingkungan hidup Kota Batu,” tandasnya.(der)