Heboh Video Anji dan Hadi Pranoto, Mafindo: Ini Bisa Membahayakan Publik

Ilustrasi hoax. (Istimewa)

MALANGVOICE – Salah satu yang menghambat upaya pemutusan penyebaran virus Covid-19 beredar infodemik mengenai virus tersebut. Seperti diketahui, infodemik merupakan suatu informasi berlebihan, sehingga sulit untuk membedakan mana fakta maupun yang hoaks.

Ketua Presidium Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo), Septiaji Eko Nugroho mengatakan, infodemik sudah berpengaruh buruk bagi masyarakat dalam penanganan Covid-19.

“Infodemi berdampak buruk bagi masyarakat, mengganggu upaya penanganan pandemi. Butuh keseriusan bersama untuk menangkalnya,” kata Eko.

Sejak akhir Januari hingga awal Agustus 2020 ini Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) mencatat 544 hoaks terkait virus Covid-19.

Apalagi dengan muncul video viral dari kanal YouTube musisi Anji berisi klaim seorang profesor menemukan obat penyembuh Covid-19 yang kemudian menimbulkan kegaduhan publik. Video tersebut, dinilai mengandung informasi sesat oleh Kemenkes dan IDI.

Namun, video itu sudah ditonton oleh ratusan ribu orang dalam waktu singkat. Peristiwa ini menambah deretan informasi bohong, yang oleh WHO disebut sebagai infodemik. Infodemik mewarnai publik Indonesia selama pandemi.

Berbagai hoaks dan teori konspirasi, menurut Septiaji, sangat merugikan banyak pihak. Seperti teori konspirasi rumah sakit dan dokter meng-covid-kan pasien sebagai lahan bisnis. Sehingga, terjadi beberapa insiden penarikan jenazah paksa, hingga intimidasi tenaga medis di beberapa daerah.

“Bahkan hingga teori konspirasi terkait agama. Seperti bahwa Covid-19 adalah sebuah cara untuk menghancurkan umat agama tertentu dengan membuat umatnya tidak kembali ke sekolah dan mendapatkan pendidikan agama,” beber Septiaji.

Lebih lanjut, kata Eko, isu hoaks dan teori konspirasi di seputar vaksin juga berpotensi membuat masyarakat menolak program vaksinasi jika nanti vaksin sudah tersedia. Ia mengkhawatirkan hoaks juga berperan menurunkan tingkat kepatuhan masyarakat terhadap protokol kesehatan.

Video Anji bersama Hadi Pranoto misalnya, yang disebut sebagai profesor pencipta obat Covid-19 adalah salah satu konten berisi klaim meragukan bahkan sesat.

“Ini bisa membahayakan publik dan memberi rasa aman yang palsu, dan dapat berbalik menjadi kelengahan masyarakat akan bahaya penyebarannya,” ujar Septiaji.

“Masyarakat yang termakan informasi tersebut bisa kemudian menolak protokol pencegahan dan pengobatan yang dibuat oleh pemerintah. Mereka memilih obat alternatif yang ditawarkan dalam video itu,” Septiaji menambahkan.

Mafindo mencatat ada 12 klaim sesat dan membahayakan publik dalam video wawancara Anji dengan Hadi Pranoto. Di antaranya terkait klaim obat buatannya sudah menyembuhkan ribuan orang dengan dua atau tiga hari pemakaian. Ada juga klaim bahwa vaksin justru merusak organ tubuh.

“Klaim lainnya masker tidak bisa mencegah penularan Covid-19. Berbagai klaim tersebut sangat berbahaya bagi publik, sehingga kami mendukung PB IDI yang meminta kepolisian turun tangan,” tandas Septiaji.

Baik Kemendikbud maupun IDI, kata Septiaji, menyatakan keraguan atas titel profesor bagi Hadi Pranoto. Namun berbagai klaimnya telanjur viral karena dimuat di kanal Youtube Anji dengan subscriber 3.6 juta orang.

“Sangat disayangkan sebuah kanal digital dengan jangkauan yang besar namun ikut menyebarkan informasi yang berpotensi membahayakan masyarakat. Di tengah keprihatinan karena kasus positif Covid-19 yang terus naik di Indonesia, seharusnya seorang figur publik memberikan teladan dengan berbagi informasi benar. Mengajak masyarakat mengikuti protokol kesehatan, bukan malah ikut menyebarkan informasi yang menyesatkan,” sambung Septiaji.

Sementara itu, Presidium Mafindo, Anita Wahid menambahkan dengan dampak kerusakan yang ditimbulkan dari maraknya infodemik, dibutuhkan keseriusan bersama untuk mengatasinya.

“Pemerintah perlu lebih banyak mendengar opini masyarakat yang banyak muncul di media sosial, dan meresponsnya secara proaktif dengan cepat dan akurat. Publik juga membutuhkan kepastian informasi terkait kebijakan yang dikomunikasikan dengan konsisten. Kesimpangsiuran informasi akan membuat tingkat kepercayaan publik kepada pemerintah menurun. Bisa juga menjadi pintu masuk kabar bohong,” ujar Anita.

Publik, lanjut Anita, juga perlu berhati-hati dalam menerima informasi, terutama yang terkait dengan berbagai tuduhan konspirasi di balik pandemi Covid-19.

“Teori-teori ini memanfaatkan keresahan masyarakat akan kondisi yang serba tidak pasti untuk keuntungan pribadi. Baik keuntungan finansial, ketenaran, ideologi, ataupun keuntungan lain. Teori seperti ini biasanya menggunakan komponen-komponen informasi yang sulit diverifikasi kebenarannya oleh masyarakat umum. Sehingga mudah memperdaya masyarakat,” tambah Anita.

Oleh karenanya, kata Anita, masyarakat perlu bersikap kritis terhadap informasi. Perlu juga mengeceknya melalui kanal-kanal dan sumber berita yang terpercaya.

Sebagai negara dengan masyarakat hierarkis, lanjut Anita, tokoh masyarakat dan tokoh agama harus dirangkul untuk memberikan keteladanan bagaimana seharusnya masyarakat memilah informasi.

Publik juga bisa berpartisipasi untuk ikut mengawasi informasi di sekitar lingkungannya dalam bentuk siskamling digital. Caranya ikut melaporkan konten yang dinilai meresahkan kepada pengelola platform maupun aparatur negara.

“Keseriusan dan gotong royong antara pemerintah, elemen masyarakat dan media massa adalah hal yang sangat penting untuk meredam infodemik. Dengan demikian, upaya penanganan pandemi Covid-19 bisa menjadi lebih baik,” tutup Anita.(der)