Hari Tari Tradisional, Seniman Tari Malang: Ayo Warisi Tradisi Lestarikan Budaya

Ki Demang bersama penari tradisional Kampung Budaya Polowijen. (Istimewa)

MALANGVOICE – Tanggal 29 April diperingati sebagai Hari Tari Sedunia (World Dance Day). Berbagai macam pagelaran tari dibuat di seluruh dunia. Tak terkecuali Kampung Budaya Polowijen (KBP) Malang.

Penggagas KBP, Isa Wahyudi atau biasa disapa Ki Demang, menjelaskan, keragaman tari tradisi sebagai keberagamaan kebudayaan Nusantara.

“Warisi tradisi lestarikan budaya,” jelasnya.

Sementara itu, pengasuh sanggar tari Sumberawan Malang, Reni Kurniawati memaknai tari sebagai ekspresi seni yang mempresentasikan berbagai macam keadaan di kehidupan masyarakat. Lain lagi pandangan pengasuh sanggar Panjilaras Jambuwer Malang Eko Ujang mengenai tari.

“Di setiap gerakan maupun tari itu sendiri, ada cukup banyak makna serta nilai kehidupan,” ujarnya.

Karakter tokoh baik yang memerankan protagonis maupun antagonis dalam pertunjukan tari merupakan tantangan tersendiri bagi penari. Hal ini diakui Rizki Windi Fitriani salah satu penari KBP.

“Dari tari-lah kita akan belajar bagaimana cara untuk memahami sebuah pakem karakter tokoh yang berbeda-beda,” kata Rizki.

Pandangan serupa juga dikemukakan mahasiswa pendidikan Seni Tari dan Musik Universitas Negeri Malang Dining Setianingrum. Ia bilang bahwa tubuh berhak untuk bergerak dan mengeksplorasi pikiran manusia yang mendunia.

Tari sebagai sebuah warisan budaya, sudah semestinya bagi siapapun untuk merawat tradisi luhur tersebut. Terutama bagi generasi muda. Hal itu ditegaskan Evita Nur Khalishah seorang penari KBP yang saat ini masih tercatat sebagai mahasiswa apartel Ganesha Tourism Academy Malang.

“Jangan hidup bersenang-senang tanpa menjadi muda yang berkarya dan melestarikan budaya Indonesia,” katanya.

Merujuk beberapa sumber, Hari Tari Dunia pertama kali dicanangkan di tahun 1982 oleh lembaga tari internasional Counseil Internasional de la Danse (CID). Tujuannya adalah untuk mengajak seluruh warga dunia berpartisipasi untuk menampilkan tarian-tarian negara mereka yang jumlahnya beragam.

Di tahun 2003, Professor Alkis Raftis yang saat itu menjadi Presiden CID mengatakan bahwa pelestarian budaya menari masih sangat minim. Tidak ada lembaga atau organisasi yang mendanai bidang seni tersebut secara memadai, tidak ada pendidikan seni tari, sehingga ketertarikan warga untuk menekuni bidang tari masih sangat rendah.

Bersama-sama dengan UNESCO, CID menjadi wadah bagi para warga dunia untuk mementaskan pertunjukan tari dari budaya mereka. Dengan begitu diharapkan semua generasi muda dapat terus melestarikan budaya melalui seni tari.

Di awal tahun 2007, promosi untuk merayakan Hari Tari semakin gencar dilakukan. Dengan berfokus pada anak-anak, lembaga internasional CID meminta seluruh anak sekolah untuk berpartisipasi dalam lomba menulis esai tentang tarian di negara mereka, melukis bertemakan tari, bahkan lomba menari yang dilakukan di jalanan. Sejak saat itu, Hari Tari Dunia semakin diapresiasi warga sehingga banyak pertunjukan tari diadakan untuk memeringati hari tersebut. (Der/Ery)