Gandeng ITN, Kemenristek Dikti Optimis Tingkatkan Paten Lebihi Publikasi Internasional

Pelatihan pemanfaatan hasil penelitian dan pengabdian kepada masyarakat yang berpotensi paten. (Lisdya)

MALANGVOICE – Penelitian berpaten atau memiliki Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) Indonesia ternyata masih tertinggal jauh oleh negara Asia Timur. Namun, di Asia Tenggara, Indonesia menduduki peringkat pertama, meski penelitian yang terpublikasikan di Indonesia menduduki peringkat kedua setelah Malaysia.

“Untuk HAKI memang Indonesia kalah dengan negara Asia Timur, yakni Jepang, Cina dan Korsel. Namun, kalau penelitian terpublikasikan masih peringkat dua,” ujar Kepala Subdirektorat Valuasi dan Fasilitasi Kekayaan Intelektual Ristekdikti, Juldin Bahriansyah.

Pada tahun 2018, Indonesia menduduki peringkat dua dengan 30.924 publikasi, sedangkan Malaysia 31.968 publikasi, dan menyalip posisi Singapura 22.081 publikasi di posisi ketiga.

“Nah, publikasi penelitian kita di angka 30 ribu, sementara penelitian berpaten di angka 2.800,” tambahnya saat pelatihan pemanfaatan hasil penelitian dan pengabdian kepada masyarakat yang berpotensi paten di Singhasari Batu, Rabu (3/7).

Rencananya, Pemerintah akan menargetkan jumlah paten harus melebihi jumlah publikasi internasional. Lanjutnya, jika pemerintah akan meniru Jepang yang menduduki peringkat pertama, jumlah paten harus dua kali dari jumlah publikasi. “Kita optimis bisa,” tegasnya.

Saat ini, dijelaskannya, Kemenristekdikti masih memprioritaskan publikasi, sementara paten belum menjadi prioritas yang sama.

“Masih jadi rencana. Jika publikasi sudah cukup baik, kami bisa beralih di bidang paten, mungkin kami bisa mengejar model tersebut,” terangnya.

Sementara itu, terkait dengan publikasi, Institut Teknologi Nasional (ITN) Malang kembali terpilih menjadi tuan rumah untuk melakukan pelatihan penelitian.

“Alhamdulillah ITN kembali dipercaya untuk mendukung program pemerintah terkait Hak Kekayaan Intelektual (HAKI),” ungkap Rektor ITN, Kustamar.

Lebih lanjut, ia mengatakan para dosen yang telah memiliki paten telah merasakan hasil penelitian yang telah diproduksi massal dan telah mendapatkan royalti.

“Selain demi perkembangan akademisi, disisi lain kesejahteraan dosen ikut terangkat,” katanya.

Untuk publikasi sendiri, ITN sesuai dengan visinya, yakni teknologi terapan, sehingga konsentrasinya produk berupa alat. Saat alat tersebut dibutuhkan dan diproduksi massal, secara otomatis berdampak positif bagi dosen untuk kesejahteraan.

“Dengan ini otomatis menghapus pesimisme dosen tidak bisa kaya, namun optimisme positif bisa menjadi kaya melalui profesionalisme berkarya,” tandasnya.

Perlu diketahui, pelatihan pemanfaatan hasil penelitian dan pengkajian pengabdian masyarakat yang berpotensi paten hari ini diikuti oleh 79 peserta dosen dari berbagai perguruan tinggi, universitas, dan institut di Indonesia. Termasuk didalamnya tujuh peserta dosen ITN.(Hmz/Aka)