Ekstase; Sajak-Sajak Sengat Ibrahim

Mythology Kang Ching Wie
-Kepada I Dewa Made Mustika

sang kesatria sri jayapangus bersabda
dari punggung gunung batur, menguar suaranya
menembus riuh bunyi semesta, melubangi dada:

“duhai dewi lihatlah langit jingga
alangkah warnanya mekar penuh pesona
aku melihat wajahmu lebih mempesona
sudikah kiranya engkau menyebutkan nama?”

entah pertemuan itu sebuah rencana dewa
atau memang nasib memanggil kita
pada mulanya adalah bahasa mata
pada akhirnya sebuah petaka
dalam mengakhiri cerita.

sri jaya, apakah setiap cerita membutuhkan celaka?
apakah setiap yang punya denyut mengenal sia-sia?
benarkah setiap laku hidup menyimpan tindak salah?
tidakkah dewa-dewa memiliki perasaan bersalah?

di punggung gunung batur, kita menuai cerita
dari pura ke pura kita semai hakikat rasa
maka terpujilah setiap cerita
seluruh asa menguar bebunga.

sri jaya, kita telah membangun istana
di kelilingi berbenteng-benteng menara
sebagai upacara menolak datangnya mara bahaya
setiap sudutnya pria-pria kekar berdiri menjaga.

alangkah malang kita, musuh datang secara tiba-tiba
mereka muncul dengan buas melalui perut kita
ngelabui, mengajari kita menjadi manusia rakus
menindas, memeras bahkan merampas harta rakyat.

dari sinilah segalanya dimulai
dan alangkah tolol kita terlambat kembali ke asal
serupa air sungai mengalir ke hilir ke selir muara
hulu ditinggal menuju laut kemudian benua.

Cabean, Yogyakarta 2017

 

Ekstase

izinkan aku menjadi doa
melindungimu secara tiba-tiba.

bila mataku rabun
aku tak mau melihatmu melalui kaca mata
sebab Yang Sempurna selalu sebatas rencana.

aku ingin hidup di luar jam kerja
menitipkan segala pada yang tak bermula.

bila aku tak tahu apa-apa
maka aku lebih senang memilih tertawa
karna aku sangat ingin hidup tanpa tergoda.

aku suka berjalan tanpa melihat apa-apa
atau tidak dilihat siapa-siapa.

seperti sajak cinta
yang tak pernah tahu tercipta kepada siapa
tapi pembaca merasa ia tercipta untuk dirinya.

Cabean, Yogyakarta 2017

 

Kereta Akhir Pekan I
Mengenang Kematian Ali Fikri

“adakah yang berpijak dalam waktu tanpa mengenal ibu?”

di hari sabtu
selalu ada yang meminta di tunggu
dari musim batu samapai musim tilu
kau memilih menjadi penunggang rindu.

besi-besi dingin tapi lupa cara menggigil
kursi-kursi gemetar isyarat maut memanggil.

dari satu kereta ke kereta lain
kau berjalan pada mungkin.

di luar kereta
pohon-pohon berjalan
gunung-gunung pada melambai
seolah mereka mengatakan selamat tinggal
pada kau yang suka menempuh perjalan jauh
dan senang melalaikan kepegalan tubuh.

di tubuh kereta
tiba-tiba segalanya pecah serupa kaca
seluruh suara menjelma doa
dan kau dikutuk pada semoga.

Cabean, Yogyakarta 2017

 

Kereta Akhir Pekan 2

di malam minggu
setelah kereta itu mengalami kecelakaan
saat orang-orang sibuk merayakan jadwal kencan.

mereka mengatakan selamat tinggal
seolah tak sadar kalau mereka sedang berjalan
berjalanan mencari muasal.

: bahwa mengutuhkan diri menjadi manusia
sejatinya harus merasakan tiada.

Cabean, Yogyakarta 2017

 

Simposium Kenangan

         “dalam benak segalannya menegenal mungkin”

sebuah sosok mengirim suara dalam mimpi
berkali-kali hadir dengan wajah sembunyi.

ia selalu datang tanpa sedikitpun bicara
saolah sengaja mencari sesuatu yang tak ada.

Cabean, Yogyakarta 2017

*Sengat Ibrahim, penulis muda kelahiran Sumenep Madura, 22 Mei 1997. Pemangku Adat Literasi & Taman Baca Masyarakat di Lesehan Sastra Kutub Yogyakarta (LSKY). Sekarang tinggal di Yogyakarta. Karya-karyanya pernah dimuat di koran; Medeia Indonesia, Republika, Suara Merdeka, Koran Tempo, Pikiran Rakyat, Minggu Pagi, Merapi, Radar Surabaya, Banjarmasin Post, Harian Rakyat Sultra dan LiniFiksi.Com