MALANGVOICE- DPRD Kota Malang memanggil pihak PT Tanrise Property dalam hearing bersama Pemkot Malang pada Jumat (23/5). Pembahasan itu seputar rencana pembangunan mega proyek dua apartemen dan hotel di kawasan Blimbing.
Hearing ini turut mengundang warga terdampak proyek, namun mereka memilih tidak hadir dalam pertemuan tersebut.
Anggota Komisi C dan Komisi A mendengarkan penjelasan rinci dari rencana investasi PT Tanrise senilai hampir satu triliun itu, mulai proses perizinan hingga penyelesaian masalah dengan warga terdampak, termasuk ke OPD terkait.
Ketua Komisi C DPRD Kota Malang, M Anas Muttaqin, mengatakan, tujuan hearing ini ia ingin mengetahui sejauh mana proses pengurusan izin PT Tanrise Property, apakah sesuai regulasi atau tidak.
Menurutnya, tahapan izin seperti izin usaha, BPG, SLF, Amdal, Amdalalin, hingga KKOP harus dilalui sebelum proses pembangunan.
“Banyak sekali tahapan perizinan yang harus dilalui, saat ini masih proses semua. Kita tunggu saja apakah memang sudah melakukan proses itu. Kami tekankan komitmen patuhi regulasi agar tidak ada yang dirugikan dan berdampak negatif ke masyarakat,” jelasnya.
Selain itu Anas melihat dari adanya penolakan warga sekitar terkait mega proyek itu harus segera diselesaikan pihak PT Tanrise Property. Ia pun menyarankan agar membangun komunikasi yang baik kepada warga terutama kepada yang terdampak langsung, yakni di RW 10 Blimbing.
“Harus ada komunikasi yang baik, jangan sampai ada warga tertinggal informasi,” pesannya.
Kepala Dinas Ketenagakerjaan dan Penanaman Modal Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Kota Malang, Arif Tri Sastyawan, menjelaskan untuk mengawal mega proyek itu pihaknya membentuk tim perizinan lintas-organisasi perangkat daerah (OPD).
Anggotanya terdiri mulai Dinas PU, LH, DSUB, BPN, Bappeda, dan OPD lain yang terkait.
Tim ini, kata Arif, akan mengoordinasikan proses perizinan termasuk konsultasi teknis yang diperlukan pihak investor, khususnya dalam penyusunan dokumen Amdal.
“Kalau ada masalah Amdal, mereka bisa konsultasi ke DLH. Nanti juga diarahkan untuk penapisan awal melalui Amdal,” ujarnya.
Arif menyebut, karena nilai investasi proyek mencapai Rp900 miliar, maka pembangunan tersebut masuk dalam kategori berisiko tinggi dan kewenangan perizinannya sebagian berada di pemerintah pusat.
“Amdal ini jadi dasar untuk mengurus dokumen pendukung. Setelah itu, baru bisa lanjut ke tahapan SLF,” tambahnya.(der)