MALANGVOICE– Dibalik kontroversinya, permainan petasan melambangkan realitas kultural dan agama. Petasan kerap dimainkan untuk menyambut pesta perayaan ataupun hari-hari besar keagamaan seperti Tahun Baru Imlek, Ramadan dan Lebaran sebagai simbol kebahagiaan.
Meski menjadi tradisi, suaranya yang memekakkan telinga mengusik ketenangan masyarakat. Bahkan tak sedikit menelan korban jiwa lantaran permainan petasan. Karena itu, pemerintah menerbitkan larangan penggunaan petasan, terutama saat momen Ramadan dan Lebaran.
Permainan petasan seolah menjadi bagian tradisi yang sulit dipisahkan di masyarakat. Bagi sebagian orang, petasan adalah cara untuk menghibur diri sendiri dan menambah kemeriahan momen istimewa, seperti perayaan pesta hingga ekspresi gegap gempita menyambut Ramadan dan Lebaran. Tradisi ini mengakar kuat sejak lama dan semakin populer seiring dengan meningkatnya penggunaan petasan dan kembang api di kalangan masyarakat Indonesia.
Awal munculnya petasan bermula dari ditemukannya bubuk mesiu. Sebagian besar sejarawan berpendapat bahwa asal mula petasan dapat ditelusuri kembali ke bangsa Tiongkok di abad 9. Meskipun ada beberapa pandangan yang menyatakan bahwa asal-usulnya juga mungkin dari Timur Tengah maupun India.
Dalam beberapa literatur Tiongkok menyebutkan bubuk mesiu kali pertama ditemukan pada masa Dinasti Sung (969-1279). Bubuk mesiu yang tak lain campuran dari potasium nitrat, sulfur, hingga charcoal. Komposisi tersebut jika digabung dengan oksigen dapat menimbulkan ledakan dan menghasilkan semburan cahaya. Di negeri asalnya, petasan digunakan untuk memeriahkan berbagai kegiatan seperti peresmian toko, bahkan diyakini dapat mengusir roh jahat.
Bubuk mesiu ditemukan secara tidak sengaja oleh seorang juru masak. Semula formula itu dibuat untuk mencari resep hidup abadi, temuan itu malah membawa perubahan besar di dunia. Pada abad ke-10, bubuk mesiu digunakan sebagai senjata dengan menempelkannya pada panah yang ditembakkan ke musuh.
Pada era Dinasti Sung (960-1279), seorang pendeta bernama Li Tian mengembangkan bubuk mesiu di dekat kota Liu Yang, Provinsi Hunan. Inilah awal mula pembuatan kembang api secara massal, dan Provinsi Hunan masih dikenal sebagai produsen petasan terbesar di dunia.
Tradisi petasan dibawa ke Indonesia oleh bangsa Tiongkok. Orang pertama yang menginjakkan kaki di Nusantara adalah seorang pendeta Buddha Fa Hien (Faxien) pada 413. Dalam banyak literatur, orang dari Tiongkok yang datang ke Indonesia ternyata berasal dari dua provinsi yakni Fukien dan Kwang Tung. Di Indonesia, penggunaan petasan telah ada sejak zaman Kerajaan Majapahit saat teknologi senjata bubuk mesiu diintroduksi, bahkan dianggap sebagai bagian dari ritual keagamaan dan upacara adat.
Benny G. Setiono dalam bukunya berjudul Tionghoa dalam Pusara Politik juga menyebut kebiasaan menyalakan petasan atau mercon saat Ramadan atau Hari Raya Idulfitri merupakan tradisi yang dipengaruhi etnis Tionghoa atau China. Mereka membawa kebiasaan di daratan Tiongkok, tempat asal petasan tersebut ke Nusantara.
Benny menyebut Raden Patah yang dikenal sebagai Sultan Demak (Bintoro) pertama yang tak lain kesultanan Islam pertama di Jawa memiliki nama Tionghoa yakni Jin Bun. Jin Bun adalah anak Kung Ta Bu Mi (Kertabumi) atau Prabu Brawijaya V, Raja Majapahit terakhir yang menikah dengan putri China. Semasa kanak-kanan, Jin Bun dipelihara oleh Swan Liong (Arya Damar) bersama Kin San (Raden Kusen) di Palembang.(der)