MALANGVOICE– Program 1.000 sarjana merupakan gagasan yang diusung pasangan kepala daerah Kota Batu, Nurochman-Heli. Program ini termasuk satu dari sejumlah program prioritas Nawa Bhakti dan dituangkan dalam rumusan RPJMD Kota Batu 2025-2029. Meski begitu, kebijakan ini perlu dikaji secara cermat agar bukan menjadi kebijakan populis serta menekan risiko anggaran pengangguran dari kalangan terdidik.
Program ini diklaim sebagai upaya untuk mencerdaskan kehidupan masyarakat dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Sehingga program ini begitu dinantikan oleh masyarakat, terutama kalangan menengah bawah yang kerap terhambat akses pendidikan tinggi. Di balik tujuan positifnya, muncul sejumlah pertanyaan krusial menyangkut implementasi beasiswa 1.000 sarjana.
Badan Eksekutif Mahasiswa-Universitas Muhammadiyah Malang (BEM-UMM) menyoroti sejumlah aspek dalam pelaksanaan program 1.000 sarjana. Mulai dari sisi anggaran, mekanisme distribusi, dan terpenting kemana arah lulusan setelah mereka menyandang gelar sarjana. Karena hingga kini, belum ada kejelasan rinci terkait sumber dan struktur pembiayaannya.
“Jika berasal dari APBD, publik berhak tahu sektor mana yang dipangkas atau dikorbankan. Jika berasal dari sponsor eksternal atau CSR, siapa pihak-pihak yang terlibat dan bagaimana mekanisme pertanggungjawabannya?” ujar Presiden BEM Naufal Rizky Firdaus melalui rilis.
Kritik juga muncul terhadap absennya roadmap strategis jangka panjang bagi para penerima program. Tanpa dukungan terhadap ekosistem kerja, baik dari sektor industri, kewirausahaan, maupun inovasi sosial program ini justru rawan melahirkan sarjana-sarjana yang terjebak dalam pengangguran terselubung. Hal ini memperparah kondisi saat ini, di mana pengangguran terdidik justru menjadi tantangan besar di kota-kota yang tengah berkembang.
Ia mengatakan, kekhawatiran terhadap program ini juga sejalan dengan pernyataan Presiden RI dalam berbagai forum yang menegaskan pentingnya efisiensi anggaran. Serta perlunya menghindari proyek-proyek yang hanya bersifat seremonial dan tidak berdampak nyata. Presiden bahkan menyebut bahwa proyek berlabel populis namun lemah dari sisi pengawasan, justru menjadi ladang subur bagi korupsi daerah.
“Kalau tidak efisien dan tidak transparan, maka program sosial semacam ini sangat berpotensi jadi ladang korupsi baru,” tukas dia.
Kritik lainnya juga menyasar pada aspek seleksi dan verifikasi penerima manfaat. Tanpa sistem yang ketat dan transparan, program ini sangat berisiko disusupi praktik penyalahgunaan, mulai dari manipulasi data penerima hingga intervensi politik dalam distribusinya. Sejauh ini, belum ada mekanisme evaluasi terbuka yang menjamin bahwa penerima beasiswa benar-benar berasal dari keluarga kurang mampu dan memiliki komitmen akademik
Lebih lanjut, ia menyayangkan kurangnya pelibatan pemuda, mahasiswa, dan elemen strategis lainnya dalam perumusan kebijakan. Tanpa kolaborasi lintas sektor, integritas kebijakan, dan keberanian membuka ruang partisipasi publik, maka program “1000 Sarjana” hanya akan menjadi proyek elitis yang jauh dari problem nyata masyarakat. Berpotensi melahirkan pengangguran terdidik, ketimpangan sosial, dan hilangnya arah pembangunan SDM lokal secara berkelanjutan.
“Seharusnya, Pemkot Batu melibatkan kampus, komunitas, dan pelaku industri lokal untuk menyusun roadmap jangka panjang. Jangan hanya bangga pada output (lulusan), tapi pikirkan juga outcome-nya: kualitas hidup, daya saing, dan kontribusi nyata terhadap kota ini,” lanjut dia..
Naufal menyampaikan bahwa mahasiswa tentu sangat mendukung perluasan akses pendidikan, asalkan program seperti ini tidak boleh hanya menjadi komoditas politik sesaat. Serta perlu diingat, pendidikan tinggi bukanlah tujuan akhir, melainkan alat menuju perubahan sosial dan kesejahteraan. Maka dari itu, program ini seharusnya disertai pula dengan upaya membangun jembatan antara dunia kampus dan dunia kerja, agar lulusan tidak hanya sekadar bertitel sarjana, tetapi juga mampu berkontribusi bagi pembangunan kota.
“Kami di kalangan mahasiswa tidak menolak program pendidikan, justru kami mendukung penuh hak pendidikan bagi setiap warga. Tapi jangan jadikan beasiswa sebagai alat politis. Jika 1000 sarjana hanya diluluskan tanpa kepastian arah dan lapangan kerja, maka yang diciptakan adalah generasi frustrasi, bukan generasi emas,” tegas Naufal.
Program 1.000 sarjana secara resmi diluncurkan Wali Kota Batu, Nurochman saat peringatan Hari Pendidikan Nasional pada 2 Mei lalu. Dalam berbagai kesempatan, Nurochman menegaskan program ini ditujukan untuk meningkatkan kualitas dan pemerataan layanan pendidikan dalam menghadapi bonus demografi guna mewujudkan visi Indonesia Emas 2045. Mengingat sektor pendidikan menjadi pintu gerbang yang mengantarkan pada peningkatan sumber daya manusia (SDM) berkualitas menuju kemajuan peradaban.
Pogram 1000 sarjana dapat diikuti oleh seluruh masyarakat Kota Batu, bukan hanya lulusan baru, tapi juga para guru, perangkat desa dan tenaga lainnya yang membutuhkan peningkatan kapasitas. Sehingga membuka kesempatan kepada masyarakat, terutama yang memiliki keterbatasan ekonomi untuk mengenyam pendidikan tinggi.
“Program unggulan 1.000 sarjana kami luncurkan, sebagaimana visi misi Kota Batu, yakni mewujudkan SDM yang berkarakter, berkualitas dan berdaya saing. Melalui program ini, kami akan buka akses seluas-luasanya bagi anak-anak hebat Kota Batu, untuk meraih pendidikan tinggi dan menggapai cita-cita besar,” tutur Cak Nur, sapaan Nurochman.
Ia menyadari sektor pendidikan berperan vitai sebagai tumpuan fundamental dalam meningkatkan SDM yang menjadi aset penting menciptakan kemajuan bangsa. Melalui pendidikan juga menjadi tempat persemaian benih-benih nilai budi pekerti meraih kehidupan bermakna selaras tantangan zaman. Terdapat tiga pilar utama untuk mewujudkan pendidikan yang ‘SAE’ (bagus). Diantaranya kecerdasan yang memuaskan, karakter yang menginspirasi dan kepedulian yang menyejukkan. Para guru adalah penyalur cahaya peradaban dan para pelajar adalah api harapan masa depan.
“Dari Kota Wisata ini, mari kita lahirkan pemimpin yang berintegritas. Inovator yang kreatif dan penggerak perubahan. Dengan semangat gotong royong, mari kita bangun sekolah yang adaptif, pembelajaran yang revolusioner dan ekosistem yang edukatif,” kata Cak Nur.
Lebih lanjut, dia juga memaparkan, untuk program unggulan 1.000 sarjana akan dibagi menjadi beberapa klaster penerima. Diantaranya seperti pelajar berprestasi, pelajar dari keluarga kurang mampu, penyandang disabilitas hingga erangkat desa yang ingin memperdalam ilmu perencanaan pembangunan desa.
“Kemudian guru non-ASN yang ingin melanjutkan studi, pelaku UMKM yang ingin meningkatkan kompetensi usaha dan Hafiz maupun Hafizah Al-Quran sebagai bentuk apresiasi terhadap nilai-nilai keagamaan,” sebutnya.
Disisi lain, Cak Nur juga memaparkan, untuk pendanaan program 1.000 sarjana akan berasal dari berbagai sumber. Mulai APBD Kota Batu, dukungan dari program Corporate Social Responsibility (CSR) perusahaan, hingga bantuan dari anggota DPR RI asal daerah pemilihan Malang Raya yang sudah berkomunikasi dengan Pemkot Batu.
“Agar program ini tepat sasaran, penerima akan diselesaikan terlebih dahulu. Program afirmasi ini juga menjadi upaya kami menjangkau seluruh lapisan masyarakat, termasuk pelaku UMKM yang ingin meningkatkan kualitas diri di bidang UMKM,” paparnya.(der)