*Oleh: Sukma Hari
Direktur Eksekutif SH INDEPTH (Institute for development of public policy and humanities)
Pak Wahyu, Wali Kota Malang yang mbois, saya ucapkan selamat berbakti sebagai Wali Kota Malang Masa Jabatan 2025-2030. Di tengah banjir ucapan selamat atas pelantikan Bapak, saya memilih menulis surat terbuka saja kepada Bapak sebagai bentuk peringatan untuk menyudahi euforia perayaan seremonial. Sebab jabatan bukan untuk dirayakan melainkan dipikul.
Ini adalah surat pertama saya kepada Bapak dan sesungguhnya saya ingin menulis surat kepada Bapak setiap hari. Di Indonesia, bahkan dunia, tidak sedikit warga negara yang membuat surat semacam ini kepada pimpinan pemerintahannya. Art Buchwald, Kolumnis Amerika Serikat, pernah menyatakan kepada Presidennya Richard Nixon (Presiden AS ke-37), “Pak Presiden, dengan surat ini saya ingin menyampaikan kepada Anda bagaimana cara memimpin negara. Berbahagialah Anda karena saya tidak memungut biaya sama sekali untuk nasihat yang saya berikan, sebab saya merasa bahwa sudah menjadi tugas warga negara untuk membantu presiden mengatasi pelbagai masalah yang muncul hari ini”.
Saya setuju dengan sikap Art Buchwald tersebut, dan dengan tulus ingin meneladaninya. Saya juga tidak akan meminta imbalan apa pun atas surat yang saya buat untuk Bapak ini.
Yang pertama, Pak Wahyu, saya akan berangkat dari bagaimana Bapak menjual visi-misi pada masa kampanye 2024 lalu. Bapak menerjemahkan visi-misi menjadikan Kota Malang mbois dan berkelas melalui 5 program unggulan: 1) membagikan seragam gratis bagi pelajar, 2) memberi seribu beasiswa pendidikan untuk pelajar dan mahasiswa, 3) menyelenggarakan seribu event olahraga, seni, budaya dan ekonomi kreatif tiap tahun, 4) memberi insentif Rp50juta pembangunan RT per tahun, dan 5) menyelesaikan masalah dasar perkotaan (banjir, macet dan parkir).
Atas obral janji 5 program unggulan itu, Pak Wahyu, benarkah Kota Malang bisa menjadi mbois dan berkelas?
Pertanyaan itu sengaja saya ajukan, sebab membagikan seragam gratis dan seribu beasiswa pendidikan bisa dilakukan tanpa harus menjadi wali kota. Tidak sedikit contoh mulai individu sampai perusahaan –yang semuanya berada di luar pemerintahan– bisa dan sudah melakukannya. Para karyawan Adaro Group Yayasan Adaro Bangun Negeri (YABN), misalnya, bisa menggalang donasi 2.000 paket seragam sekolah senilai total Rp2,4 Miliar untuk pelajar dari keluarga prasejahtera.
Mereka tidak perlu menjadi wali kota untuk mengerjakannya. Maksud saya, sederhana saja, mengapa sebagai wali kota, Bapak tidak menginisiasi program yang jauh lebih strategis, mengingat isu dan tantangan pendidikan Kota Malang setumpuk jumlahnya?
Kita tahu ada masalah kebijakan petunjuk teknis (juknis) Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) yang diskriminatif terhadap anak-anak dari keluarga non-pejabat (kalangan PNS/ASN, TNI/Polri, dan BUMN/BUMD), kita juga tahu kegagalan Dinas Pendidikan Kota Malang yang tidak menyelarasakan aturan juknis PPDB dengan aturan hierarki di atasnya yaitu Permendikbud No 1 Tahun 2021 dan Perwali Kota Malang Nomor 5 Tahun 2021 terkait jumlah minimal pagu zonasi.
Agustus 2024 rekan-rekan aktivis dari Malang Corruption Watch (MCW) sudah menyuarakannya, tetapi Bapak menganggapnya angin lalu dengan tidak menyerapnya sebagai program unggulan di bidang pendidikan. Bapak justru memilih program populis dengan membagikan seragam gratis dan beasiswa –yang bisa dikerjakan tanpa harus menjadi wali kota– yang kental sekali dengan kepentingan elektoral demi menduduki kursi kekuasaan N-1.
Lalu pada program unggulan ketiga. Bapak mengatakan akan mengadakan seribu event tiap tahun; olahraga, seni, budaya dan ekonomi kreatif. Tampaknya Bapak menyukai kata “seribu”. Setelah menggunakannya pada program beasiswa, Bapak memakainya Kembali pada program event: seribu beasiswa dan seribu event.
Apakah Bapak tidak khawatir warga Kota Malang akan menagihnya secara satuan-bijian? Sebab jika berhitung matematis, maka Bapak wajib menunaikannya masing-masing 1.000 kali atau jenis tanpa kurang satu pun. Setahun 1.000 event, maka akan ada 5.000 event sampai akhir jabatan Bapak. Saya yakin Bapak akan kelimpungan menepatinya.
Pada program ke 4, Bapak berjanji memberikan 50juta untuk pembangunan RT (Rukun Tetangga) per tahun dengan anggaran 200milyar. Jika mengukur kekuatan APBD dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) 2024, program ini memang tampak realitis. Namun saya tetap melihatnya sebagai kebijakan populis yang Bapak hamburkan saat kampanye. Bapak tidak berterus terang kepada publik bahwa program ini baru bisa dijalankan tahun 2026, bukan tahun 2025. “Untuk yang Rp50juta per tahun itu belum untuk periode ini. Insya Allah (direalisasikan) pada 2026”, kata Bapak kepada Antaranews (10/2/2025).
Statemen Bapak tersebut patut disayangkan sebab disampaikan saat sudah terpilih menjadi wali kota, bukan saat kampanye. Tentu siapa pun akan angkat topi kepada Bapak bila disampaikan saat kampanye. Sebab, Bapak tahu, sesungguhnya warga membutuhkan sekaligus merindukan figur negarawan yang dengan jujur mengatakan apa yang harus didengar masyarakat, bukan apa yang ingin didengar masyarakat.
Janji politik berupa program-program unggulan itu, Pak Wahyu yang mbois, bisa mengantar Bapak ke dalam golongan pejabat dan politisi pengumbar janji, Program-program unggulan Bapak sangat populis, program khas yang dirancang oleh politisi yang ambisi pada tujuan politik jangka pendek. Meski tentu saja, saya pribadi pada umumnya dan warga Kota Malang pada khususnya, tidak mengharapkan Bapak menjadi bagian dari golongan itu.
Demikian. Salam hormat. Saya sudahi surat saya; kalau Bapak tidak membaca surat ini, atau membaca namun merasa tidak perlu menganggap penting, saya akan tetap baik-baik saja.
Semoga Pak Wahyu dan keluarga sehat selalu. Salam dari saya, Sukma Hari.