MALANGVOICE – Menjelang Muktamar PBNU 2021, Wakil Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur KH Dr Ahmad Fahrur Rozi meminta keberadaan Nahdlatul Ulama (NU) harus dikembalikan pada dunia Pesantren.
“Kembalikan NU ke pesantren karena marwah NU adalah pesantren,” tegas Gus Fahrur, sapaan akrabnya, Selasa (26/10).
Gus Fahrur bercerita, pernah memperoleh pesan dari RKH Nurul Huda Jazuli kepada Gus Yahya Staquf saat sowan ke ndalem beliau di Pondok Pesantren Al Falah Ploso Mojo Kediri pada Senin (20/9/2021) lalu.
Beliau, lanjut Gus Fahrur mewanti-wanti agar pengurus PBNU mendatang diisi oleh para kader alumni Pesantren Diniyah tradisional “Salafiyyah” berhaluan Ahlussunnah sebagaimana era KH Hasyim Asy’ari.
“Pesan Kiai Huda ini mengingatkan kita, ulama dan Pondok Pesantren adalah pendiri dan cikal bakal lahirnya jam’iyah NU,” ujarnya.
“NU didirikan oleh para ulama pesantren yang memiliki kesamaan wawasan keagamaan dan kebangsaan di Indonesia. Baik tentang tata cara pemahaman, pandangan dan sikap perilaku dalam pengamalan ajaran Islam Ahlussunnah wal jamaah menghadapi berbagai macam aliran sempalan yang timbul saat itu,” ulasnya.
Dengan adanya kesamaan tersebut, lanjut Gus Fahrur, akhirnya digabungkan menjadi satu dalam sebuah wadah untuk memperjuangkan tegaknya akidah aswaja dan membangun kemaslahatan masyarakat, memperjuangkan kemajuan bangsa dan ketinggian harkat martabat manusia di bidang dakwah, agama, ekonomi, pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan ummat.
“Sejak awal mulanya memang terdapat kaitan erat antara Nahdlatul Ulama dengan pondok pesantren, ibarat ikan dengan air, yang tidak mungkin dapat dipisahkan. NU dan pesantren merupakan rumah besar bagi segenap warga masyarakat nahdliyyin. Karena sejak awal didirikannya NU dan pesantren merupakan wadah perjuangan para ulama dalam membina akidah Islam aswaja dan mengajarkan Akhlak mulia dalam kehidupan masyarakat dengan ajaran islam moderat yang dikenal sebagai ukhuwah Islamiyah, wathoniyah dan basyariyyah, sering di ibaratkan bahwa pesantren adalah NU kecil dan NU adalah pesantren besar,” terang pria yang juga menjabat Wakil Sekjend MUI Pusat ini.
Gus Fahrur menjelaskan, persamaan antara Nahdlatul Ulama dengan pondok pesantren itu terdapat dalam pola kepemimpinannya yang sama-sama berpusat kepada seorang Kyai. Apabila di dalam Pondok Pesantren Kiai memiliki peran yang sangat menentukan, maka di dalam Nahdlatul Ulama dikenal Kepemimpinan Syuriyah yang terdiri dari para ulama atau Kyai selaku Pemimpin tertinggi. Keduanya menempatkan Kyai atau ulama dalam posisi tertinggi dalam struktur kepemimpinan. Karena ulama adalah mata rantai pembawa ajaran Islam Ahlussunnah Wal Jamaah.
“Di dalam Nahdlatul Ulama, para Kyai atau ulama dipahami sebagai tokoh yang paling kuat yang mempunyai keunggulan dan kelebihan dalam bidang spritual, ilmu, amal, dan akhlak keagamaannya,” tegas Pengasuh Ponpes An Nur 1 Bulawang, Kabupaten Malang ini.
Untuk itu, tambah Gus Fahrur, pengaruh yang dimiliki oleh para Kyai pengasuh pondok pesantren di lingkungan masyarakat menjadi kekuatan pendukung bagi Nahdlatul Ulama.
“Hubungan antara NU dengan pondok pesantren, terlihat dalam struktur masyarakat santri yang selama ini tampil sebagai pendukung dan penyangga kekuatan NU, Kiai, Pondok Pesantren dan kaum santri merupakan Pilar kuat Yang Dimiliki organisasi NU,” tegasnya.
Gus Fahrur menambahkan, kaum santri senantiasa patuh berada dibawah garis kepemimpinan para ulama pesantren yang mendirikan Nahdlatul Ulama. hubungan antara seorang santri dengan gurunya, yaitu para ulama Pesantren tidak pernah terputus dengan selesainya proses belajar mengajar. Karena hubungan batin dan silaturahmi antara ulama dengan santrinya, senantiasa berlangsung terus-menerus meskipun mereka sudah pulang kerumahnya dan mendirikan pesantren baru di berbagai daerah .
“Dari sini kami menangkap adanya kekhawatiran di benak kyai sepuh ketika kepengurusan NU berada ditangan aktifis karbitan Non santri, yang lebih banyak mendahulukan logika rasional namun miskin keberkahan spritual, karena mereka dapat memanfaatkan wibawa NU mencapai tujuan pribadinya dalam mencari jabatan dengan mengatasnamakan NU. Sehingga telah santer terdengar gosip miring adanya oknum petinggi NU terlibat makelar proyek dan jabatan,” bebernya.
Lebih lanjut, Gus Fahrur meminta agar para profesional ini perlu di akomodir di dalam lembaga dan banom strategis NU.
“Untuk menjadi pengurus harian PBNU, diperlukan jenjang meritokrasi atau sistem yang memberikan kesempatan kepada seseorang untuk memimpin berdasarkan kemampuan, prestasi dan rekam jejak pengabdian di NU. Bukan sekedar aktifis dan makelar yang karena masuk kepengurusan PBNU mendadak bergelar kyai,” Gus Fahrur mengakhiri.(end)