MALANGVOICE – Guru besar Universitas Airlangga (Unair) Surabaya Prof Dr Hotman M Siahaan menanggapi Menteri Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK), Muhadjir Effendy tentang penanganan penyandang disabilitas.
Hotman sependapat dengan Muhadjir, selama ini penanganan terhadap kaum disabilitas masih bersifat formalitas dan belum dihargai kelebihan mereka.
“Penanganannya masih bersifat formalitas belaka. Tidak menyentuh harkat dan martabat manusia secara substantif,” ujar Hotman.
Baca Juga: Muhadjir: Berikan Kemudahan Penyandang Disabilitas
“Selama ini penyandang disabilitas cenderung hanya dilihat sisi kekurangannya. Belum dihargai sisi kelebihannya,” sambungnya saat dihubungi di Surabaya, Jumat (29/7/2022).
Sebelumnya, Menko PMK, Muhadjir Effendy, meminta aparatur pemerintah memberikan kemudahan akses layanan publik kepada masyarakat rentan, seperti kalangan penyandang disabilitas agar tidak terjerembab kemiskinan ekstrem.
“Lihat saja di kota-kota besar. Kebijakan jalan pedestrian untuk tuna netra, tidak ada penghargaannya dengan dipakai untuk jualan atau tempat parkir,” tukasnya.
Baca Juga: Digelontor Anggaran Rp2,8 Miliar, Kemenag Kota Batu Bangun Gedung Layanan Haji dan Umroh Terpadu
Bahkan ada yang bikin fasilitas untuk disabilitas itu gak hitung-hitung, dengan membuat mepet di pohon.
“Kebijakannya formalitas saja, asal sudah dibikin tidak melihat manfaat dan kebaikannya,” katanya saat membuka Rapat Koordinasi Gerakan Nasional Revolusi Mental (GNRM) Region Timur dalam rangka percepatan pembentukan dan penguatan Gugus Tugas Daerah (GTD) GNRM di Makassar, Rabu (27/7).
Menurut Hotman, penanganan penyandang disabilitas seharusnya menyentuh substansi harkat dan martabat manusia.
Seharusnya menghargai mereka sebagai manusia bukan hanya bisa bertahan hidup, tetapi bisa survive. Berarti harus dilihat kekurangan dan kelebihannya.
“Atau dilihat kelebihannya di atas kekurangannya. Kalau hanya melihat kekurangannya sering kali penyikapannya bersifat charity, belas kasihan saja,” katanya lagi.
Lebih lanjut dosen Fakultas Pasca Sarjana Unair ini mengatakan, sering kali juga penanganannya hanya formalitas. Misalnya di dalam rekrutmen tenaga kerja. Karena ada peraturan perundangan-undangan harus merekrut penyandang disabilitas, maka penyandang disabilitas itu diselipkan.
Baca Juga: Ngaku Wartawan Modal Foto Bersama Bupati Malang Minta Proyek ke OPD
“Tujuannya hanya untuk formalitas kalau sudah melibatkan disabilitas. Maka dalam operasional kerja, tidak disesuaikan dengan kelebihannya melainkan disesuaikan kekurangannya,” ujar pakar sosiologi ini.
Padahal penyandang disabilitas bisa jadi memiliki kelebihan lebih dari orang yang normal. Ia mencontohkan, di Unair ada seorang tuna netra yang kuliah. Dia punya kemauan, cerdas dan pemikirannya brilian.
“Kita menanganinya berdasar kelebihan itu di atas kekurangannya. Kita perlakukan seperti mahasiswa normal. Materi kuliahnya sama. Hanya saat ujian, soal kita bacakan. Dia bisa menjawab sangat baik dengan menulis di laptopnya,” katanya.(end)