Salam Satu Jiwa Arema itu Kekuatan Sekaligus Titik Rawan

Oleh Anwar Hudijono*

Aremania memiliki salam yang khas. Yaitu “Salam Satu Jiwa”. Jika subyek pertama menyampaikan “salam satu jiwa”, maka subyek kedua menjawab Arema. Galibnya disertai dengan mengangkat tangan mengepal.

Salam ini bukan kaleng-kaleng. Apalagi asal njeplak. Salam ini memiliki akar historis yang sangat kuat. Sekaligus memiliki kandungan makna atau pesan isoteris yang sangat dalam.

Akar historisnya adalah ajaran adiluhung (luhur) Jawa dalam membangun komunitas, paseduluran (persaudaraan), kolektivitas -kolegialisme. Yaitu sabaya mukti sabaya pati. Artinya bahagia bersama mati (menderita) juga bersama.

Baca Juga: Iqbal Ceritakan Perjuangannya Selamat dari Kelamnya Tragedi Kanjuruhan

Sabaya mukti sabaya pati itu jika divisualkan semacam tali ijuk yang sangat kuat. Tali ijuk itu di samping tidak mudah diputus juga memiliki nilai magis mampu mengikat orang yang memiliki ngelmu welut putih. Orang yang memililiki ngelmu welut putih akan dengan mudah melepaskan diri dari ikatan rantai kapal sekalipun.

Untungnya orang sekarang jarang sekali yang memiliki ngelmu welut putih. Yang banyak justru memiliki ngelmu welut endhas ireng alias licik, licin, lihai, liat, dan li li yang lain.

Sabaya mukti sabaya pati ini merupakan kekuatan yang sangat dahsyat ketika ditransformasikan dalam kebaikan, perjuangan, gerakan heroisme. Contohnya, ketika Wong Agung Wilis memimpin perjuangan melawan pemerintah penjajah Belanda di Blambangan (Banyuwangi). Mengobarkan perang Puputan Bayu tahun 1771.

Baca Juga: Aremania Asal Probolinggo Takut Pulang, Ini Penjelasan Psikolog RSUD Kanjuruhan

Ruh sabaya mukti sabaya pati menggerakkan seluruh rakyat Blambangan, laki-laki perempuan terlibat perang sampai titik darah penghabisan. Tercatat 70 ribu rakyat gugur.

Ruh sabaya mukti menggerakkan rakyat terlibat dalam Perang Jawa atau Perang Diponegoro. Boleh dibilang hampir seluruh Jawa terbakar oleh api peperangan. Sampai-sampai kas negara Belanda kosong karena terserap habis untuk membiayai perang. Cuma setelah perang,Belanda cari pulihan dengan memeras rakyat melalui pajak dan program tanam paksa. (Politik golek pulihan ini kemudian menginspirasi lulusan pemilu baik pileg maupun pilkada).

Perang Surabaya 10 November 1945 juga digerakkan ruh sabaya mukti sabaya mati. Nilai itu dinarasikan dengan “Merdeka atau Mati”. Artinya kalau mau bahagia bersama harus merdeka, maka harus berjuang bersama-sama kendati harus berkalang tanah dan darah tertumpah.

Baca Juga: Tersangka Pembunuhan di Villa Songgoriti Terindikasi ODGJ

Masyarakat Pinggiran
Jadi, jika divisualkan “ salam satu jiwa” itu juga tali ijuk yang mengikat Arema . Historisnya kan begini. Sebelum tahun 1990-an, masyarakat Malang, khususnya anak-anak mudanya itu terpecah-pecah dalam kelompok komunitas. Saat itu disebut geng.

Geng-geng itu berbasis utama kalangan masyarakat periferal (pinggiran). Kurang pendidikan. Miskin. Begerak di sektor informal, bahkan pengangguran. Mereka memiliki keberanian yang tinggi. Jiwa jagoan.

Mereka adalah efek (korban) dari proses pembangunan yang berorientasi trickle down effect (menetes ke bawah). Kapitalistik. Jika proses pembangunan itu ibarat arus sungai, nah kaum periferal itu buih yang terapung-apung di atasnya.

Pada dekade 1970-an eksislah komunitas atau geng seperti Argom (Armada Gombal) yang berbasis di Mergosono, Anker (Anak Keras) di Jodipan, Persatuan Residivis Malang (Prem) di Celaket. Komunitas-komunitas ini mengalami politisasi dalam arti diserap oleh partai politik menjadi aparatusnya. Misalnya Tamin, Hariadi, Ghozi ke PPP. Mariso Udin, Bhirowo ke Golkar.

Pada saat musim penembakan misterius (petrus) awal 1980-an, banyak pentolannya yang raib. Geng-geng atau komunitas tiarap dan diam seperti orong-orong terinjak kaki orang.

Tidak lama. Pertengahan dekade 1980-an mulai muncul. Bahkan layaknya jamur di musim hujan. Basisnya tetap massa periferal, kurang terdidik, miskin. Pentolannya masih berumur belasan tahun karena yang tua-tua sudah raib atau pensiun.

Komunitas itu tidak hanya berbasis geografis di Malang, melainkan meluas sampai daerah lain. Di manapun saja berada, arek-arek Malang berani menunjukkan identitasnya dengan menyebut Arema akronim dari Arek Malang. Penguasa Blok M Jakarta itu Arema.

Muncullah komunitas-komunitas seperti Van Halen alias V(F)ederasi Anak Nakal Halangan Enteng yang berbasis di Claket, Saga (Sumbersari Anak Ganas), SAS (Sarang Anak Setan). Nama-nama ini mengambil nama grup musik rock karena saat itu Malang menjadi barometer musik rock Indonesia. Musisi rock baru disebut sejati jika lolos ujian arek Malang (Arema).

Ada juga geng berbau rasisme seperti RAC (Remaja Anti Cina), Raja (Remaja Anti Jawa). Ada Arpanja (Arek Panjaitan) berbasis di Betek, Aregrek (Arek –belakang- Geereja Kayu Tangan), Geng Inggris berbasis di Sukun, Armada Nakal (Arnak). Ada juga Ermera. Nama ini mengambil sebuah daerah di Timor Leste. Di situ banyak pasukan Batalyon 512 yang menjadi korban Perang Timor Timur.

Tinju

Fenomena ini memprihatinkan para tokoh masyarakat. Mereka khawatir musim petrus berulang. Juga perkembangan komunitas atau geng-geng ini tidak sejalan dengan gerakan pembangunan masyarakat yang waktu populer dengan istilah masyarakat madani. Istilah yang diperkenalkan oleh cendekiawan muslim Nurcholish Madjid. Masyarakat madani artinya masyarakat yang berkeadaban. Di situ ada tatanan keadilan.

Adalah Walikota Malang 1973-1983 Sugiyono adalah salah satu tokoh yang paling peduli dengan Arema. Ia mendapat gelar Ebes dari Arema. Ebes adalah bahasa slank Arema yang berarti bapak. Sugiyono dinilai sebagai pengayom, panutan Arema.

Banyak solusi yang dilakukan Ebes Sugiyono. Di antara mendorong berdirinya sasana tinju. Tinju itu tempat menyalurkan dan membina potensi keberanian, kejagoanan Arema. Sugiyono sendiri mendirikan Sasana Gajayana yang dengan pelatih legendaris Abu Dhori yang menelorkan juara seperti Juhari (OPBF), Solikin, Kid Hasan, Little Holmes.

Ada sasana Arema yang didirikan Tjipto Murti dengan pelatihnya Wa Sui yang menelorkan juara seperti Monod, Little Pono. Sasana Swunggaling Malang dengan manajer Petrus Setyadi Laksono yang menelorkan juara OPBF Wongso Suseno, Wongso Indrajid, Suwarno Perico alias No Pecel, Hengky Gun.

Disusul sasana Javanoea pimpinan Eddy Rumpoko dengan pelatih Mufid yang melahirkan juara WBF Nur Huda. Sasana Satria Yuda pimpinan Luky Acub Zainal dengan pelatih Ingger Kailola. Edy Sugiarto mendirikan sasana Alamanda yang melahirkan juara Mulyanto, Hudi.

Abu Dhori kemudian melepaskan diri dari Gajayana dengan mendirikan Dhori Gymnasium. Ia melatih tidak hanya pentinju Malang ia juga melatih petinju Papua yang dikirim Sugiyono yang saat itu menjabat sebagai Wakil Gubernur Papua (Irja) seperti Yudas Mofu, John Hamadi.

Selain tinju, Ebes juga mengembangkan sepak bola yaitu Persema. Dengan pemain seperti Maryanto, Suparman, Sutrisno, Cilak, Hary Ratu, Hartoyo, Gusnul Yakin, Aji Santoso sempat masuk Divisi Utama. Setelah tidak ada Ebes di Malang, Persema kurang bisa menyerap Aremania karena ada perbedaan paradigmatik.
Manajemen Persema menggunakan paradigma birokratis, sementara Arema itu menggunakan paradigma partisipatif. Pada masa itu terjadi semacam dikhotomi state (negara) dengan society (masyarakat). Karena saat itu, mengikuti pendapat ilmuwan politik David E Apter, ideologi negara dijadikan agama politik (pilitical religion)

Ebes Sugiyono

Adalah Ebes Sugiyono bersama mantan Wagub Papua Acub Zainal dan Siwo PWI Malang seperti Abas Prabowo, Anwar Hudijono, Heroe Yogie, Agus Purbianto, Suyitno, Wiharjono, Sentot Setiyono, Mondry. Pengusaha Derek Sutrisno, penyiar Radion Senaputra Ovan Tobing. Dua tokoh muda Arema Eddy Rumpoko dan Lucky Acub Zainal.

Mereka memprakarsai pendirian klub Arema FC . Apalagi saat itu PSSI juga menggencarkan sebak bola profesional. Pelatih pertama yang direkrut gak tanggung-tanggung yaitu Sinyo Aliandoe yang pernah menukangi PSSI Pra Piala Dunia. Pemainnya seperti Mahdi Haris, Effendy Azis, Dony Latuperissa, Panus Korwa, Mecky Tata, Dominggus Nowenik, Karman Kamaludin, Aji Santoso.

Jadi Arema FC itu didirikan untuk mewadahi aspirasi berbasis paradigma partisipatif Arema (Arek Malang). Nama Arema FC dianggap lebih pas daripada nama Armada FC. Arema FC itu mempersatukan elemen-elemen komunitas Arek Malang. Menjadi buhul pengikat solidaritas Arek Malang.

Maka sejak awal, keyakyatan itu menjadi karekter Arema FC. Klub profesional tetapi karakternya bukan semata bisnis untuk mengeruk cwan tetapi untuk persatuan komunitas. Mengembangkan paradigma partisipatif. Maka jangan heran kalau Aremania selalu minta dilibatkan dalam proses keputusan manajemen Arema maupun stakeholder yang lain. Aremania terhadap Arema FC itu benar-benar melu angrungkebi lan melu andarbeni (ikut membangun dan ikut memiliki).

Aremania selalu menjaga karakter kerakyatan yang egalitarian. Independen. Pasti akan menolak ketika hendak digiring ke emosional-primordialisme sempit yang bisa memecah belah. Siapapun yang mencoba mengkooptasi Aremania untuk kepentingan politik pasti akan terpental.

Aremania tumbuh dan berkembang secara fenomenal. Luar biasa. Aremania menjadi leader dalam aksi teatrikal di stadion. Menjadi inspirasi suporter di seluruh Indonesia. Martabatnya tinggi di mata dunia dan Indonesia.

Terbakar dan musnah

Kerakyatan, independen, egalitarian ini boleh dibilang sebagai tradisi agung Aremania. Inilah tradisi yang baik. Tradisi yang baik itu kalau di Al Quran dianalogkan dengan, “Dan tanah yang baik, tanaman-tanamannya tumbuh subur dengan izin Tuhannya. (Al Araf 58).

Salah satu buah Aremania sebagai tanaman yang baik itu adalah kekompakan, paseduluran, soliditas dan solidaritas (sabaya mukti sabaya pati) yang kuat . Sebuah kelompok yang dibingkai soliditas dan solidaritas itu kira-kira seperti yang dianalogkan Al Quran surah As Shaf ayat 4: “… dalam barisan yang teratur, mereka seakan-akan seperti suatu bangunan yang terusun kokoh”.

Tapi soliditas dan solidaritas ini akan menjadi titik rawan jika dipergunakan oleh tangan yang jahat dan mungkar. Di tangan manusia jahanam. Seperti halnya bumi. Pada dasarnya bumi itu diciptakan dengan baik dan untuk kembaikan semua mahluk. Tapi bisa menjadi rusak dan malapetaka jika di tangan orang yang jahat. Maka Allah wanti-wanti:

“Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah (diciptakan) dengan baik. Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat kepada orang-yang berbuat kebaikan.”(Quran Al Araf 56).

Menggunakan soliditas dan solidaritas Aremania untuk kerusakan (fasad) itu gampang. Misalnya, pancing mereka marah. Ketika ada kawannya yang tanpa salah apa-apa dianiaya, digayang, digebuki, diperlakukan seperti binatang, bahkan lebih hina-dina dari kecoa, pasti soliditas dan solidaritas (sabaya mukti sabaya pati) mereka akan bangkit dengan melakukan pembelaan bersama-sama.

Nah, saat itulah menjadi titik yang paling rawan. Pembelaan bersama itu bisa menjadikan mereka seperti kawanan belalang yang mendatangi api obor. Terbakar dan musnah dalam sekejap. Setelah itu “manusia” akan mencari-cari dalih pokoknya belalang harus jadi yang salah.

“Manusia”? Ya manusia. Tapi ingat manusia itu bisa lebih hina dari belalang.
“Dan sungguh , akan Kami isi neraka jahanam banyak kalangan jin dan manusia. Mereka memiliki hati tetapi tidak dipergunakan untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka memiliki mata (tapi) tidak dipergunakan untuk melihat, mereka mempunyai telinga Itapi) tidak dioergunakan untuk mendengar. Mereka seperti hewan ternak, bahkan lebih sesat lagi. Meeka itulah orang-orang yang lengah.” (Quran, Al Araf 179).

(Tulisan sampai di sini. Saya tidak mengatakan musibah kubro Stadion Kanjuruhan itu pararel dengan Puputan Bayu, Perang Jawa, Perang Surabaya. Wis ramesono dewe).(*)

Rabbi a’lam

*Anwar Hudijono, wartawan senior, peraih PWI Jatim Award 2022 untuk kategori Tokoh Pers Daerah.

Berita Terkini

Arikel Terkait