Rippda Landasan Penting bagi Pengembangan Wisata Selaras dengan Pelestarian Lingkungan

MALANGVOICE– Seluruh daerah di Indonesia berebut menarik minat kunjungan wisatawan dengan menyuguhkan potensi-potensi desa wisata. Kemunculan desa wisata juga merata hadir di seluruh desa/kelurahan Kota Batu yang menggaungkan julukan Kota Wisata Batu (KWB).

Pemangku kebijakan kerap melontarkan alasan monoton dan klise, hanya terpaku pada sudut pandang ekonomi seiring dibentuk desa wisata yang kadang kala diluncurkan asal jadi.

Lambat laun masyarakat terjebak pada paradigma antroposentris yang mengeksploitasi kekayaan alam pada aspek ekonomis semata. Relasi timbal balik antara manusia dan alam dinegasikan sehingga mereduksi upaya pelestarian ekologis. Padahal aspek pelestarian ekologis harus diutamakan lebih dulu. Bukan sebaliknya, mengeksploitasi alam untuk keuntungan ekonomi.

Desa Wisata Gunungsari Tempat Berlibur Alternatif di Kota Batu

Ironisnya, Kota Batu yang kerap memproklamirkan diri sebagai daerah wisata masih belum memiliki Perda Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Daerah (Rippda). Persoalan tersebut ditangkap secara jeli oleh calon Wali Kota Batu nomor 1 Pilkada Batu, Nurochman atau akrab dipanggil Cak Nur. Karena pengembangan pariwisata tak bisa dikotomikan dengan pemanfaatan ruang agar tetap menjaga daya dukung lingkungan selaras pelestarian ekologis. Begitu juga dengan strategi pengembangan desa wisata yang memiliki karakteristik dan keunikan spasial maupun akar kultural.

“Saat ini pembangunan desa wisata sangat marak. Pembangunan ini seharusnya didasarkan pada filosofi pelestarian. Sisi sosial, berkelanjutan dan kelestarian alam menjadi suatu variabel penting dalam pembangunan desa wisata. Ini nilai lebih sehingga dengan sendirinya wisatawan datang. Tujuannya bukan langsung wisata. Namun perlu ada proses konservasi tanah dan air. Wisata adalah dampak positif dari konservasi alam itu sendiri,” papar Ketua DPC PKB Kota Batu itu.

Lebih lanjut, Cak Nur menegaskan Rippda ibarat ‘kitab suci’ bagi para pemangku kepentingan. Secara komprehensif, regulasi ini menyangkut strategi pengembangan dan pembangunan kawasan potensial kepariwisataan di Kota Batu. Sehingga nantinya dituntut pula untuk memperhatikan kebijakan politik pemanfaatan ruang yang dituangkan dalam RTRW Kota Batu dan memperhatikan kajian lingkungan hidup strategis (KLHS). Komponen itu menjadi sebuah kohesi integral dalam pengembangan kepariwisataan berbasis kearifan lokal dan lingkungan.

“Semangatnya ada pengembangan pariwisata dengan tetap berpegang teguh pada upaya pengendalian lingkungan agar tak merusak aspek ekologis,” ujar Cak Nur.

Pembentukan RIPPDA kabupaten/kota tertuang dalam amanat yang dicantumkan dalam PP Nomor 50 Tahun 2011 tentang rencana induk pembangunan kepariwisataan nasional (Ripparnas) 2010-2025. Rippda sebagai pedoman untuk melakukan penataan dan pengelolaan, pemberdayaan serta pengembangan potensi pariwisata secara tepat, terencana dan terukur.

Dengan adanya Perda Rippda nantinya, ia berkeyakinan dapat memaksimalkan penataan dan pengembangan kepariwisataan di Kota Batu. Selama belum memiliki Perda Rippda, penataan dan pengembangan kepariwisataan berkiblat pada Perda Kota Batu nomor 1 tahun 2013 tentang penyelenggaraan kepariwisataan.

Komitmen Lindungi Kebutuhan Petani, Paslon NH Mendapat Dukungan KWT

Penyusunan Rippda/Ripparkota juga merupakan amanat UU nomor 10 tahun 2009 tentang kepariwisataan. Dalam pasal 30 huruf A berbunyi, bahwa pemda berwenang untuk menyusun dan menetapkan rencana induk pembangunan kepariwisataan kabupaten/kota. Sebagai pedoman, maka Rippda/Ripparkota harus menekankan pada perencanaan, pengelolaan, dan pengendalian pembangunan kepariwisataan. Dimana harus selaras dengan visi misi kebijakan strategis daerah.

Kota Batu memiliki kebutuhan dan karakteristik yang tidak bisa disamaratakan dengan daerah lainnya. Maka dari itu dokumen perencanaan dilandaskan pada kondisi riil daerah. Menggali karakteristik dan potensi yang ada agar tak mereduksi nilai-nilai kultural yang tumbuh di dalamnya. Untuk itu kajian perencanaan harus dikerjakan secara seksama dan holistik.

“Serta pada tahap perencanaan harus melibatkan beragam kalangan, khususnya pelaku pariwisata. Sebagai induk pedoman maka harus memayungi semua elemen. Jangan main-main dalam mengerjakan perencanaan Rippda,” tegas Cak Nur.

Ada empat yang harus ditampung dalam penyusunan Rippda. Keempatnya meliputi destinasi pariwisata, industri pariwisata, pemasaran pariwisata dan kelembagaan pariwisata. Tiap aspek itu dibagi lagi dalam sub aspek. Seperti destinasi pariwisata meliputi penentuan destinasi wisata kota, kawasan strategis pariwisata kota, daya tarik pariwisata kota, dampak lingkungan, partisipasi masyarakat, pusat pelayanan primer dan sekunder. Aspek industri pariwisata mencakup kredibilitas, kualitas, standarisasi.

Berikutnya, pemasaran pariwisata meliputi proyeksi wisatawan dan demografis pengunjung. Lalu aspek kelembagaan yang terdiri dari organisasi kepariwisataan baik privat maupun publik. Keempat aspek yang dijabarkan dalam tiap-tiap komponen itu harus diikuti pula dengan langkah strategis untuk merealisasikannya.

Ia menyampaikan, penyusunan Rippda juga harus melihat kondisi geografis Kota Batu yang merupakan bagian dari Kawasan Malang Raya. Pengembangan pariwisata di Kota Batu tak bisa parsial. Sehingga perlu pemikiran holistik integratif yang mempertimbangkan arah pembangunan daerah penunjang lainnya, seperti Kabupaten Malang dan Kota Malang.

“Kepariwisataan itu tanpa batas. Kota Batu tidak bisa berjalan sendiri tanpa memperhatikan pertumbuhan di daerah yang berbatasan langsung. Termasuk juga di dalamnya ada wilayah hutan yang dikelola Perhutani,” tandas dia.(Der)

spot_img

Berita Terkini

Arikel Terkait