MALANGVOICE – Program satu juta rumah oleh pemerintah menjadi agenda rapat koordinasi (Rakor) Dewan Pimpinan Daerah Asosiasi Pengembang Perumahan Seluruh Indonesia (DPD APERSI) Jawa Timur (Jatim), Rabu (8/3/23).
Dalam Rakor tersebut, DPD APERSI Jatim selain menghadirkan Ketua Umum (Ketum) DPP APERSi Junaidi Abdillah, juga pihak perbankan yakni PT Bank Rakyat Indonesia (Persero)/BRI dan PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk/BTN.
Ketum DPP APERSi Junaidi Abdillah mengatakan, saat ini pihaknya sedang mengusulkan kenaikan Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) atau rumah subsidi untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) ke Kementerian Keuangan (Kemenkeu).
Tujuannya supaya mereka bisa mendapatkan rumah dengan mudah dan terjangkau.
Baca juga:
Rencana Kenaikan Tarif Kompensasi Air dengan Perumdam Tugu Tirta Kota Malang Buntu
Sambut Ramadan, MaxOne Ascent Hotel Malang Manjakan Kolesterol Lovers
Miris, Sudah Ditipu Oknum ASN Dispora Sekarang Dipecat
“FLPP itu saat ini sudah berada di Kemenkeu. Diperkiraan 7 persen, tapi informasinya yang diterima realisasinya kurang lebih 4,8 persen,” ucapnya.
Menurut Junaidi, penyesuaian FLPP itu perlu menjadi bahasan serius bagi pemerintah karena dinilai sebagai kunci agar program satu juta rumah oleh pemerintah bisa tetap berjalan.
“Usulan Apersi kenaikan harga sudah ada di kementerian keuangan, tinggal sekarang bolanya di Kemenkeu untuk menerbitkan aturan PMK nya,” tegasnya.
Hal senada disampaikan Ketua DPD APERSI Jawa Timur Makhrus Soleh, bahwa ada tiga permasalahan yang sedang dihadapi para pengembang perumahan terkait program FLPP tersebut.
“Seperti status lahan yang masih LSD (lahan sawah dilindungi), lalu perubahan dari IMB (ijin mendirikan bangunan) ke PBG (persetujuan bangunan gedung) yang kurang direspon dengan cepat oleh sejumlah pemerintah daerah (pemda) dan harga per unit rumahnya,” katanya
Makhrus menjelaskan, yang menjadi tantangan utama adalah soal FLPP atau harga dari setiap unit rumah subsidi ini tidak disesuaikan selama tiga tahun terakhir. Dirinya menilai bahwa hal itu cukup menyulitkan pengembang perumahan.
Sebab, selama kurun waktu tiga tahun terakhir para pengembang perumahan harus dihadapkan dengan naiknya harga material bahan bangunan dan juga ongkos atau honor tenaga kerja.
“FLPP di Jatim ini Rp150.500.000 sudah tiga tahunan tidak naik. Padahal seperti yang kita ketahui, harga material dan tenaga kerja naik,” terangnya.
Di sisi lain, lanjut Makhrus, pihaknya juga tak bisa dengan sembarangan menyesuaikan atau menaikkan harga setiap unit rumah, karena jika melebihi harga yang ditetapkan pemerintah tersebut, maka akan dikenakan PPN sebesar 11 persen.
“Kalau kita jual sedikit saja lebih dari Rp150 juta, PPN bisa masuk sebesar 11 persen. Jadi enggak enggak nutut biayanya,” tukasnya.(end)