Ra, Berkunjunglah Ke Gondanglegi Sore Hari
Aku percaya Gondanglegi tak akan habis begitu saja sebagaimana yang kau sangka
Sejak hari masih dini, Pasar di pertigaan besar sudah meriuhkan dialek-dialek Madura
Kegaduhan orang-orang berlalu lalang tetap terpekak abai pada kelurusan jalan hidup mereka
Meski sebentar lagi mikrolet oren akan semakin ditinggalkan dan hanya sepi yang tersisa untuk diantar kemana-mana
Walau romantisme kondektur dan bocah-bocah sekolah sudah tak bisa dinikmati cuma-cuma
Tetap saja aku yakin jika kehangatan tanah air kecil ini tak akan dingin begitu saja
Ra, berkunjunglah kemari sore hari
Ku dengar kota sudah membesarkan segala mu dan sebagai orang desa aku tak akan merayu-rayu bolos mengaji lagi
Aku juga kelewat sungkan mengulangi balapan lari kearah bantalan lori
Atau beradu cepat membariskan paku dudur dan logam kuning kerapan sapi
Toh, lindasan kereta-kereta tebu sudah tak pernah kembali
Truk pemakan aspal kini lebih disayangi Pabrik Rajawali
Namun tetap saja kau perlu menyambangi masa kecil yang enggan dewasa -yang belum dilindungi rusuk sesiapa- ini
Maka kunjungilah Gondanglegi kala sore hari, Ra
Akan ku lagukan syair harian ditempat ku berlindung dari rindu yang bertambah
purna, sepi yang nyata fana, dan cinta yang tergesa-gesa
Semoga suara ini membasahkan kenangan kita, membahasakan nada-nada yang asing di telinga kota, doa-doa penghangat Gondanglegi saat senja
kalamun qodimun la yu mallu samauhu, tanazzaha an qouli wa fi’li waniyati. bihi asytafi minkulli dain wa nuruhu, dalilun li qolbi ‘inda jahli wa khairoti. fa ya robbi matti’ni bisirri khurufihi. wanawwir bihi qolbi wasam’i wa muqlati. wa sahhil alayya khifdohu tsumma darsahu. bijahin nabi wal ali tsumma shokhabati
Albar,3/9/18
Menyaksikan Cinta Sekeras Batu Dilapuk Rindu
Dalam waktu dekat langit akan jatuh
Kota dan kata-kata yang mengangkuh adalah pilar yang rapuh
Ia pamit beli kaporit sekalipun sadar hanya aroma kalianlah satu-satunya pembening dadanya yang keruh
Sudah simpan saja sesal mu yang saling susul itu
Ia cuma memeperagakan gaya bercanda ala tuhan
Malang, 27 januari 2018
Di Watu Kelir
Di watu kelir
Sementara Gamelan dimainkan, Jiwa yang nihil merasa terpanggil
Kidung menuntun dimana seharusnya jejak ditapak
. Di tepian tali arus kali muncar atau di rentang cairan api bantal
Di watu kelir
Pagelaran terus berjalan
Kisah pasrah sebongkah waktu atas sentuhan dalang peradaban
Lakon bergantian di hadirkan
Ditancap berjajar diantara renik radiolaria dan rijang
Di sisi lain watu kelir
Ku lihat bayangan mu menari syahdu di muka air, mengikuti tembang mencari hilir
Bagaimana jadinya ujung cerita bila peran mu urung jadi nyata?
Oo rahasia, makna yang menolak disingkap masa
Yugjo, 4 april 2018
Mengantar Puisi Untuk Kekasih
Kau memuji langit dan ia selalu tahu apa yang kau perlu
Kemarin ia adalah dermaga yang sepi untuk gundah yang kau tambatkan
Lalu riak tenang kasihnya mengantarkan doa dan dosa mu berlayar mencari kedamaian
Sekarang ia embun jatuh dipucuksujudmu
Ubun-ubun mu yang kosong jadi penuh
Lapar yang melingkar tak membuat beningnya keruh.
Ada kesederhanaan yang ia rangkai dari kerumitan-kerumitan surga
Kelak langit akan kau angkat saudara
Itu terjadi setelah sunyi menyulap hal-hal kecil jadi kebesaran untuk apa saja
Itu akan terjadi saat puisi ini sampai di pemberhentian terakhirnya, ufuk kalbumu
Warung I, 26 februari 2018
Jika Kita Adalah Jarum Merah, Ra
Jika kita adalah jarum merah, Ra
Seumpama bocah TK berkejaran mengambili angka
Mengitari waktu yang melulu jatuh di dinding beranda
Hanya pada jarak utuh kita beradu sua
Karena poros yang membagi, maka berputarlah rindu disana
Bukan
Aku tak hendak mengeluhi tuhan
Ku rasa ini bukan ujian
Yang jadi persoalan bukan mengejar detik-detik mu, Ra
Itu kemustahilan belaka
Anugrah yang tak ingin ku cegah adalah kita berdetak untuk setiap nafas yang sama
Albar, 8/10/18
Mochammad S.
Penjaga Warung Kopi Albar Kota Malang.
Jl.Mertojoyo Selatan 22b Merjosari Lowokwaru Kota Malang