PWI Malang Raya Selenggarakan Diskusi Panel “Kemerdekaan Pers dalam Perspektif Hukum”

PWI Malang Raya menyelenggarakan diskusi panel bertajuk "Kemerdekaan Pers dalam Perspektif Hukum". Diskusi tersebut menghadirkan tiga narasumber yakni Penyidik Sat Reskrim Polres Batu, Aipda Yudi Priyoutomo (kiri), Kepala SJI, Noordin Djihad (tengah) dan Jaksa Pidum Kejari Batu, Abdul Ghofur (kanan). (MVoice/istimewa).

MALANGVOICE – Insan pers bagian dari salah satu pilar demokrasi yang memiliki peran fungsi kontrol dan edukasi. Produk pemberitaan yang dipublikasikan berpengaruh besar terhadap pembentukan persepsi publik.

Dalam menjalankan fungsinya, jurnalis harus memegang teguh kode etik jurnalistik sebagai landasan moral kepada masyarakat.

Kebebasan pers sebagaimana termaktub dalam UU RI nomor 40 tahun 1999 tidak sepenuhnya mutlak bebas. Namun juga harus disertai pula tanggung jawab sosial.

Dengan latar belakang itu, PWI Malang Raya mencetuskan diskusi panel bertajuk Kemerdekaan Pers dalam Perspektif Hukum yang digelar di Kemboja Canteen & Coffee, Kota Batu, Senin, (29/8).

Terlebih saat ini marak dilakukan kriminalisasi kepada jurnalis atas produk jurnalistiknya. Diskusi itu dibuka secara langsung oleh Pembina PWI Malang Raya, Arief Waworunto.

Pemaparan materi disampaikan tiga narasumber, yakni penyidik Sat Reskrim Polres Batu, Aipda Yudi Priyoutomo, Jaksa Pidum Kejari Batu, Abdul Ghofur dan Kepala Sekolah Jurnalistik Indonesia (SJI), Noordin Djihad.

Baca juga : Peras Korban hingga Belasan Juta Rupiah, Oknum Wartawan Diciduk Polisi di Gondanglegi

Aipda Yudi Priyoutomo menuturkan, Polri dan Dewan Pers menjalin nota kesepahaman untuk melindungi kemerdekaan pers. Sekaligus penegakan hukum terkait penyalahgunaan profesi jurnalis yang melenceng dari marwah pers.

“Subyek hukum tindak pidana pers meliputi individu maupun badan usaha penyelenggara perusahaan pers. Sumber hukumnya mengacu pada UU nomor 40 tahun 1999 dan KUHP. Bukan berarti mereka kebal hukum,” kata Yudi.

Ia mengatakan, jurnalis merupakan warga negara yang memiliki kedudukan yang sama dalam hukum. Sehingga dapat diproses hukum ketika melenceng dari kode etik jurnalistik dan terbukti melakukan tindak pidana, semacam pemerasan mengatasnamakan profesi jurnalis.

Baca juga : Ngaku Wartawan Modal Foto Bersama Bupati Malang Minta Proyek ke OPD

Namun, ada perlakuan berbeda tatkala produk pemberitaan terseret dalam perkara hukum. Dalam konteks itu, pihak kepolisian berkoordinasi dengan Dewan Pers maupun pengurus organisasi profesi jurnalistik yang ada di daerah.

Hal ini agar tidak memasung kemerdekaan pers dalam iklim demokrasi yang menjunjung HAM dan penegakan supremasi sipil. Untuk itu, pihaknya menekankan pentingnya kode etik jurnalistik sebagai landasan moral agar menyajikan pemberitaan yang akurat dan proporsional.

“Kalau memang pelanggaran kode etik pers penyelesaiannya di ranah Dewan Pers. Tapi kalau sudah ditemukan mengarah pada unsur pidana prosesnya ada di ranah kepolisian,” tutur Yudi.

Baca juga : DK PWI Dorong Wartawan Lakukan Invesitigasi Reporting Ungkap Kasus ‘Polisi Tembak Polisi’

Hal senada disampaikan Jaksa Pidana Umum Kejari Batu, Abdul Ghofur yang menyatakan kemerdekaan pers bukan tanpa batas. Melainkan ada rambu-rambu yang dituangkan dalam kode etik profesi agar tak berbenturan dengan perkara hukum pidana.

“Sehingga, insan pers juga dituntut untuk memahami norma-norma hukum maupun kesusilaan,” imbuh dia.

Sementara itu, Kepala SJI, Noordin Djihad mengulas terkait UU nomor 11 tahun 2018 Informasi dan Teknologi Elektronik (ITE) yang ditindaklanjuti dengan penandatanganan surat kesepakatan bersama (SKB) Menteri Komunikasi dan Informatika, Jaksa Agung dan Kapolri. SKB tersebut berisi tentang pedoman kriteria implementasi UU ITE.

Baca juga : Mantapkan Porwanas, PWI Malang Raya Audiensi ke Polres Malang

Penandatanganan SKB itu paling tidak bisa memberikan perlindungan terhadap kemerdekaan pers. Agar tidak terperangkap dalam pasal-pasal karet UU ITE yang berpotensi terjadinya kriminalisasi terhadap jurnalis dalam menjalankan kerja jurnalistiknya. Salah satunya pasal yang disorot terkait frasa pencemaran nama baik.

Ada beberapa fokus pasal yang diberi pedoman implementasi UU ITE antara lain, pasal 27, 28, 29 dan 36. Pasal 27 ayat (3) maupun pasal 28 merupakan pasal karet yang dapat mereduksi kemerdekaan pers. Lantaran dijadikan celah untuk menjerat jurnalis atas produk jurnalistiknya. Malahan menafikan UU Pers dalam menyelesaikan sengketa pers.

Dengan adanya penandatanganan SKB itu, menjadi angin segar bagi insan pers. Karena ada perbedaan tegas antara produk jurnalistik dan yang bukan produk jurnalistik. Sebagaimana pada pasal 27 ayat (3) salah satu fokus pasal ini berbunyi “Jika wartawan secara pribadi mengunggah tulisan pribadinya di media sosial atau internet, maka tetap berlaku UU ITE, kecuali dilakukan oleh institusi Pers maka diberlakukan UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers”.

“Kegiatan kerja-kerja jurnalistik mengacu pada UU Pers. Insan pers yang memproduksi karya jurnalistik tidak serta merta dipidanakan selama memegang teguh kode etik jurnalistik,” tegas Noordin.(der)