MALANGVOICE – Hingga Agustus 2022 pengajuan nomor induk berusaha (NIB) di Kota Batu mencapai 2.538 pemohon.
Mayoritas didominasi pelaku UMKM sebanyak 2.509 pemohon dan sisanya sebanyak 29 pemohon non pelaku UMKM. Jika dirata-rata per hari, kurang lebih ada 10 pemohon NIB.
Banyaknya warga yang mengurus NIB juga menunjukan geliat usaha mulai tumbuh kembali pasca meredanya pandemi. Kota Batu merupakan kota tujuan wisata sehingga potensi membuka usaha sangat menjanjikan. Sektor UMKM sangat mendominasi, sedangkan yang bukan UMKM, berasal dari hotel hingga tempat wisata.
Analis Kebijakan Ahli Muda, Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Kota Batu, Syaiful Anwar, Pengurusan NIB ini sangat penting berdasarkan regulasi yang telah ditetapkan. Namun, masih banyak pelaku usaha yang ragu mengajukan permohonan NIB karena enggan berhadapan dengan urusan perpajakan.
Baca juga : DPMPTPSP Kota Batu Sediakan Layanan Digital untuk Memudahkan Proses Perizinan
“Padahal, sistem OSS terbaru ini sudah mengatur secara rinci berdasarkan tingkatan risikonya. Ada lima teratas dalam klasifikasi baku lapangan usaha indonesia (KBLI) di Kota Batu,” kata Syaiful.
Pihaknya pun mengimbau kepada pelaku usaha untuk melakukan pengurusan NIB. Kalau pun kurang memahami sistem online, DPMPTSP akan memberikan pendampingan. NIB tersebut diperlukan guna permohonan izin usaha maupun izin komersial atau operasional sesuai klasifikasi usahanya.
Hanya saja, yang terjadi saat ini, tidak mudah untuk mengajukan izin usaha. Faktornya, Peraturan Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Kota Batu yang belum final dan revisi UU Cipta Kerja setelah Mahkamah Konstitusi memutuskan inkonstitusional bersyarat sehingga harus diperbaiki.
Baca juga : Perubahan Perda RTRW Mengambang, 45 Perizinan untuk Aktivitas Usaha di Kota Batu Tersendat
Dalam ketentuan baru, aturan yang ditetapkan harus berdasarkan regulasi induk di atasnya. Dalam konteks ini, Perda RTRW Kota Batu harus menginduk ke UU Cipta Kerja, termasuk sistem perizinannya. Koordinator Perizinan, Tauchid Bashwara beberapa waktu lalu menjelaskan, tidak adanya daya dukung Perda RTRW membuat proses perizinan terhambat. Saat ini, perizinan masih mengacu pada Perda RTRW No 7 Tahun 2011 yang menggantikan Perda RTRW No 3 Tahun 2004.
Baca juga : MPP Bakal Dioperasikan di Balai Kota Among Tani Oktober
Sistem OSS juga mengalami perubahan, yang awalnya berbasis perizinan menjadi berbasis risiko. Ada tiga klasifikasi risiko di dalamnya, yakni risiko rendah, sedang, dan tinggi. Pelaku usaha juga harus menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan ini.
“Pada prinsipnya, memang izin ini kan ada manual dan sistem otomatis. Nah, kemudian pada saat pengurusan manual, terjadi perubahan OSS perizinan usaha versi pertama ke OSS Risk Based Approach (RBA), kemungkinan kendala-kendalanya di situ. Kami sebagai operasional perizinan, memang harus ada daya dukung regulasi seperti Perda RTRW. Banyak cakupan yang tidak terakomodir di dunia usaha saat ini. Kemudian regulasi mengenai RDTRK,” kata Tauchid.(der)