MALANGVOICE – Pada bagian terakhir presentasinya, peneliti media Unair, Dr Herlambang Perdana Wiratraman, mengatakan, hingga kini, tidak jarang pers masih menjadi sasaran atas situasi kegaduhan politik maupun hukum.
Pengungkapan kasus-kasus korupsi dalam skala masif dan liputan investigasi soal eksploitasi sumberdaya alam yang berlebihan, merupakan dua contoh yang kerap menjadi kambing hitam. Riset menujukkan, dua isu itu merupakan isu paling mendekatkan jurnalis pada potensi kekerasan atau kriminalisasi.
“Celakanya, kasus-kasus kekerasan dan kriminalisasi itu kurang mendapat perhatian serius untuk diungkap pertanggungjawabannya. Padahal, fungsi pers jelas disebutkan dalam pasal 3 ayat (1) Undang-Undang No 40 Tahun 1999 tentang Pers, dalam hal ini pers menjalankan fungsi kontrol sosial,” paparnya.
Tudingan bahwa pers yang membuat gaduh, tambah dia, harus dijelaskan secara proporsional. karena tudingan demikian, sekalipun tidak persis sama nadanya, maksudnya mirip saat Soeharto mengarahkan telunjuknya pada kaum jurnalis.
Dalam konsep hukum ketatanegaraan klasik, fungsi pengawasan dan keseimbangan kekuasaan hanya didominasi peran kelembagaan negara formal. Perkembangan ketatanegaraan memperlihatkan, partisipasi rakyat dan pers yang kuat, justru dapat mengembangkan tradisi demokrasi dan penyelenggaraan pemerintahan yang lebih baik.
Dan sebaliknya, tanpa partisipasi politik kewargaan dan pers yang kuat, demokrasi akan melemah. Itu sebab, hadirnya pers dinilai sebagai pilar keempat demokrasi (the fourth
pillar of democracy).
“Bahkan, dalam konstitusi Amerika, posisi pers menempati peran penting sebagai cabang keempat pemerintahan.
Permasalahannya, pers bebas belum diikuti profesionalisme pers,” tukasnya.
Pemberitaan kerap timpang, tidak didasarkan pada praktek jurnalistik yang memenuhi kaidah kode etik, serta lebih cenderung merefleksikan kepentingan pemilik media dibanding kepentingan publik. Apalagi, fenomena pers abal-abal yang masih demikian mudah dijumpai di lapangan.
Menyoal ‘kegaduhan hukum’, menurut Herlambang, tak akan pernah menguntungkan upaya pembangunan. Konflik KPK versus Polri, atau konflik politisi yang menyeruak di lembaga-lembaga negara, jelas mengganggu stabilitas ekonomi dan politik.
Itu sebabnya pers ditantang lebih profesional dalam memberitakan ‘kegaduhan-kegaduhan’ hukum dan politik yang demikian, agar situasi yang terbaca memberikan pembelajaran bagi publik untuk bisa memilah dan menemukan realitas dan kebenaran
atas pemberitaan yang disajikan.
Namun, sambungnya, sesungguhnya realitas dalam dunia jurnalistik Indonesia itu paradoks. Pers atau media-media yang didominasi pemilik tertentu, justru memainkan ruang redaksi untuk menjadikan media partisan, membela kepentingan politik dan ekonomi pemilik medianya.
Di sisi lain, dalam konteks lokal, kerap pula dijumpai jurnalis dan editor tak
berdaya berhadapan dengan tekanan atas upaya menjalankan profesinya, baik tekanan eksternal semacam kekerasan atau kriminalisasi, maupun tekanan internalnya.
“Artinya, jangan hanya pers yang dituntut profesional, agar penegakan hukum berjalan baik. Penegakan hukum yang profesional pun menjadi penting untuk mendorong pers yang profesional,” katanya.
Misalnya, pers yang sehat dan profesional di daerah atau tingkat lokal,
akan melemah posisi dan fungsinya bila jurnalis tidak mendapat perlindungan hukum secara memadai. Bahkan, para pelaku kekerasan atau penyerangan terhadap jurnalis atau media di tingkat lokal, justru bebas dari pertanggungjawaban hukum, atau disebut impunitas.
Menguatnya mata rantai impunitas jelas melemahkan bahkan melumpuhkan sendi-sendi pers profesional dan kemerdekaan pers itu sendiri. Bukan itu saja, upaya untuk mendorong kebebasan pers juga diperlukan dengan mengembangkan sistem hukum yang ramah terhadap kebebasan ekspresi, termasuk di dalamnya menjamin pers yang menggunakan media non-cetak.
Masih bekerjanya Undang-Undang No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), terutama pasal 27 ayat 3, yang begitu banyak menjerat masyarakat sipil, merupakan
penanda jaminan kebebasan itu belum cukup perlindungan.
Begitu juga aturan Surat Edaran Kapolri soal Hate Speech, yang niatnya baik, namun substansinya keliru. Tidaklah
mengherankan, bila di masa setahun pemerintahan Jokowi, ada tudingan bahwa jaminan kebebasan pers di Indonesia melemah.
“Jokowi tentu boleh berharap pers profesional yang mendorong stabilitas ekonomi dan politik untuk pembangunan nasional. Namun harapan itu harus diiringi keberaniannya memangkas mata rantai impunitas, seraya memperkuat hukum dan penegakan hukum yang lebih berkeadilan sosial, khususnya perlindungan hukum bagi para awak media untuk memperkuat kemerdekaan pers,” rincinya.
Perlindungan hukum dan memangkas mata rantai impunitas ini, pungkas dia, merupakan faktor kunci lain dalam rangka mendorong pers untuk kesejahteraan sosial.