Mengenang Rohaniawan Pemantik Gerakan Moral Bangsa

MALANGVOICE– Antonius Benny Susetyo atau akrab disapa Romo Benny tutup usia pada 5 Oktober 2024 lalu. Ia sosok yang langka dan berperan penting menjaga gerakan moral bangsa.

Perjalanan hidupnya sepenuhnya didekasikan untuk merajut persaudaraan sejati. Berpulangnya rohaniawan itu mengejutkan banyak pihak, sekaligus kehilangan besar bagi bangsa serta siapapun yang mencintai nilai-nilai kemanusiaan.

Figurnya yang egaliter dan totalitas memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan memancarkan kekuatan bagi orang-orang di sekitarnya. Satu per satu kerabatnya menceritakan kenangan berkesan di momen 100 Hari Mengenang Wafatnya Romo Benny. Kegiatan itu digelar di Ruang Wisnu Adi Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW), Kecamatan Sukun, Kota Malang pada Senin malam (13/1).

Di mata kerabat-kerabatnya, Romo Benny tak kenal lelah dan rela berkorban memperjuangkan kemanusiaan agar tercipta toleransi dan inklusivitas di tengah pluralitas. Ia begitu giat membangun dialog dan menyuarakan persaudaraan antarlintas umat agama, sekalipun harus berhadapan dengan suatu risiko. Seperti halnya, saat pria kelahiran Malang pada 10 Oktober 1968 tersebut, kali pertama menunaikan tugas pastoralnya di Paroki Situbondo pada tahun 1996.

Penempatannya hanya berselang sepekan setelah terjadinya kerusuhan di wilayah tapal kuda itu. Almanak mencatat, tepatnya pada 10 Oktober 1996, Situbondo digilas konflik antaragama, sejumlah gereja dirusak dan dibakar. Masyarakat mengenang peristiwa itu dengan sebutan ‘Kamis Kelabu’. Dalam situasi mencekam kala itu, Romo Benny mendampingi dan meneguhkan umat Katolik.

Di sisi lain, dia merangkul umat agama lainnya untuk meredam kebencian. Dengan niat tulus kemanusiaan dan persaudaraan sejati, ia menempuh jalur rekonsiliasi. Ia mengedepankan perdamaian lintas iman dan toleransi untuk meretas sekat-sekat agama. Sebuah misi yang terus diembannya hingga akhir hayatnya. Bukti nyata membangun persaudaraan lintas-iman tak perlu diragukan. Ia memiliki hubungan yang erat dengan tokoh-tokoh Islam. Seperti Abdurrachman Wahid atau Gus Dur, sekaligus sosok yang dia kagumi.

“Saat itu saya masih muda. Saya ditugasi Gus Dur menemani Romo Benny kemana saja. Bahkan, beliau menyampaikan duka pada seorang Muslim yang meninggal saat peristiwa itu. Kehadirannya saat itu memberikan energi positif menggugah kesadaran pentingnya persaudaraan sejati lintas-iman,” kenang tokoh Pemuda NU Situbondo Ahmad Junaidi Rofi saat momen 100 Hari Mengenang Wafatnya Romo Benny.

Sepak terjangnya yang begitu konsisten di jalan kemanusiaan, memantik Yudi Latif untuk ‘menjerumuskan’ Romo Benny, dari gembala gereja menjadi gembala negara. Kala itu, Yudi menjabat sebagai Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). Lembaga itu membutuhkan sosok yang tepat untuk mengisi kursi Staf Khusus Dewan Pengarah.

Yudi melihat sosok Romo Benny sangat tepat karena kiprah dan jam terbangnya mengabdi di jalan kemanusiaan. Apalagi pemikiran-pemikiran Romo Benny mengenai kebhinekaan dan toleransi menyulut inspirasi bagi banyak pihak. Dalam berbagai kesempatan, dia juga getol merajut simpul-simpul akar rumput dalam mengarusutamakan ideologi Pancasila di tengah narasi intoleransi dan polarisasi imbas konservatisme agama.

“Tapi saya menjerumuskan ke jalan yang benar, sekalipun Romo Benny tak mau jabatan. Padahal perannya sangat penting. Di BPIP butuh dewan pengarah, kalau tidak bisa berabe. Jadi saya ‘selundupkan’ beliau ke dewan pengarah,” kelakar Yudi.

Ia melihat, semangat Romo Benny begitu tinggi dan tak kenal lelah membumikan Pancasila. Baginya, Romo Benny berkomitmen kuat dalam mengawal nilai-nilai Pancasila dan kebangsaan. Selama masa pengabdiannya, dia telah memberikan kontribusi besar dalam memperkuat pemahaman dan implementasi ideologi Pancasila di masyarakat.

“Belakangan begitu tahu romo meninggal, saya baru paham, kenapa beliau begitu semangat. Karena mungkin beliau punya firasat masa edarnya di dunia tidak begitu panjang. Sementara niatnya untuk mengarusutamakan Pancasila begitu menggebu. Pemikiran-pemikiran beliau mengenai kebhinekaan dan toleransi telah memberikan inspirasi bagi banyak pihak. Terimakash atas dedikasi luhur Romo Benny,” tandas Yudi.

Sementara itu, Pegiat Sosial, Savic Ali melihat kemiripan antara Gus Dur dan Romo Benny. Keduanya sosok toleran dan menjunjung pluralisme menyatukan kelompok antarkeyakinan. Latar belakangnya sebagai pemuka agama yang mencurahkan perhatiannya pada kemanusiaan.

“Kalau tidak ada Gus Dur, saya tidak akan bertemu Romo Benny. Sebelumnya saya hanya mendengar sosok Romo Benny dari kawan-kawan aktivis yang ada di Malang. Seorang romo yang juga aktivis,” ucap Savic.

Di mata Savic, Romo Benny bukan rohaniawan tradisional yang bukan hanya bergemul dengan dogma ritual keagamaan. Sosoknya lebih pada rohaniawan organik yang diselimuti kegelisahan intelektual memikirkan problem-problem sosial yang dihadapi masyarakat. Sehingga memantik gerakan moral bangsa yang kerap mengingatkan pentingnya nilai toleransi dalam bermasyarakat. Spektrum pemikirannya begitu luas. Romo Benny, lanjut Savic merupakan sosok yang bisa melayani untuk mempertemukan elemen sosial, politik dan agama.

“Tidak mudah menemukan sosok seperti beliau. Punya jiwa konsolidator bisa berjumpa dengan banyak kelompok dengan berbagai latar belakang. Beliau bersedia ‘mengalah’ untuk menjadi jembatan. Karena orang yang tidak mampu mengalah maka tidak akan mampu menjembatani kepentingan banyak orang,” pungkas Savic.

Sementara itu, anggota Komisi XI DPR RI dapil Malang Raya, Andreas Eddy Susetyo, yang juga kakak kandung mendiang, mengatakan, Ruang Wisnu Adi GKJW Sukun memiliki nilai sejarah bagi Romo Benny. Ruang itu menjadi tempat Romo Benny sering berkumpul bersama almarhum Gus Dur, almarhum KH. Hasyim Muzadi, dan Wisnu Adi untuk menggagas ide-ide besar dalam membangun persaudaraan sejati.

“Bahkan di sini pula deklarasi Forum Antar-Umat Beragama pertama kali dilakukan,” ujar politisi PDIP itu.

Andreas mengungkapkan bahwa semasa hidup, Romo Benny memilih Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) sebagai tempat pengabdian terakhirnya. Almarhum menolak berbagai tawaran pindah ke Jakarta, karena meyakini BPIP sebagai terminal akhir perjuangannya dalam menjaga nilai-nilai kebangsaan.

“Romo Benny selalu mengatakan, jangan pernah melupakan atau meninggalkan Pancasila. Ini adalah warisan besar yang beliau tinggalkan untuk kita semua,” tambah Andreas.(der)

spot_img

Berita Terkini

Arikel Terkait