Kawasan Hutan Kritis, Tanah Longsor Rawan Berulang di Wilayah Malang Barat

Bekas lintasan tanah longsor di Desa Sukomulyo, Kecamatan Pujon, Kabupaten Malang. (MVoice/M. Noerhadi)

MALANGVOICE– Bencana hidrometeorologi seperti tanah longsor selalu terulang menerjang wilayah Malang Barat tatkala hujan deras melanda. Berada di topografi perbukitan dengan kemiringan lahan yang curam, bencana longsor menjadi ancaman serius. Potensi ancaman itu semakin jelas ketika lahan hutan sebagai area tangkapan air kian kritis.

Pada akhir Februari lalu, secara bersamaan bencana longsor menerjang Kecamatan Pujon dan Kecamatan Ngantang. Kedua kecamatan itu berada di wilayah Malang Barat. Pergerakan tanah bukan saja disebabkan tingginya curah hujan. Lebih dari itu, kawasan hutan yang berada di area atas banyak dibuka menjadi lahan pertanian hortikultura.

Wakil Ketua DPRD Kabupaten Malang, Sodikul Amin mengaku geram atas hal itu. Kawasan hutan yang seharusnya menjadi penyangga ekologis, kini diganti areal pertanian tanpa diimbangi dengan tanaman tegakan agar tak terjadi erosi. Ia merasa dongkol, lantaran gundulnya hutan. Padahal sejak beberapa tahun lalu, Amin bersama kelompok warga setempat gencar melakukan gerakan penghijauan di kawasan hutan.

Baca juga:
Jalan di Srigonco, Kecamatan Bantur Rusak Parah, Begini Tanggapan Pemkab Malang

Beredar Rekaman KPK Tegur Pemkab Malang Soal Mamin Senilai Rp35 M

Korban Trading ATG Berjumlah 1.361 Orang, Termasuk Korban Luar Negeri

Longsor Susulan Kali Ketiga, Jalur Provinsi Malang-Kediri Lumpuh

“Pasti kecewa, karena beberapa tahun lalu, dilakukan penanaman pohon di kawasan hutan. Tapi sekarang, tahu-tahu sudah jadi lahan pertanian. Kalau hutannya gundul, tentu dampaknya bencana longsor dan banjir,” ujar anggota legislatif Kabupaten Malang asal Desa Pujon Kidul itu

Imbas bencana longsor melumpuhkan arus lalulintas di wilayah Malang Barat. Karena jalur provinsi penghubung Malang-Kediri tertutup timbunan material longsor. “Itu cuma dampak kecilnya saja. Terpenting bagaimana menyiapkan mitigasi guna meminimalisir risiko bencana agar tak menimbulkan korban jiwa maupun kerugian materi,” imbuh Amin.

Ia menegaskan, langkah antisipasi meminimalisir ancaman bencana perlu dibangun melalui sinergitas antar pemangku kebijakan. Termasuk juga dengan Perhutani selaku penanggungjawab dalam pengelolaan kawasan hutan agar kembali mengoptimalkan fungsi ekologis hutan.

Selama ini, Amin menilai, hubungan antara pemda dan Perhutani begitu renggang. Keduanya masih terjebak pada egosektoral yang ujungnya penanganan bencana berjalan parsial. Sementara dalam upaya mitigasi bencana harus ada kolaborasi antar lintas sektor.

“Kalau perlu, pemerintah pusat evaluasi kinerja Perhutani selaku pengelola kawasan hutan. Namanya hutan harus ada tanaman tegakan. Jangan asal membuka lahan pertanian tanpa kajian komprehensif,” cetus Amin.