MALANGVOICE– Industri aviasi turut andil menyumbangkan emisi gas rumah kaca imbas penggunaan avtur konvensional yang bersumber dari sumber daya fosil. Asosiasi Transportasi Udara Internasional (IATA) mendorong agar maskapai penerbangan berangsur-angsur beralih menggunakan avtur berkelanjutan (sustanaible aviation fuel/ SAF). Hal ini guna memenuhi target emisi nol bersih versi IATA pada 2050.
Kebutuhan global terhadap avtur berkelanjutan (SAF) diperkirakan mencapai 46 juta metrik ton. Namun, ada disparitas yang begitu jauh lantaran kapasitas produksi global hanya 2 juta metrik ton. Avtur berkelanjutan ini dihasilkan dari sumber bukan fosil. Salah satu diantaranya ialah minyak jelantah sebagai bahan baku potensial.
Peluang Indonesia begitu besar untuk menjadi produsen avtur berkelanjutan. Seiring dengan tingginya konsumsi minyak goreng baik di skala domestik rumah tangga maupun sektor usaha kuliner. Sehingga sisa penggunaan minyak goreng turut memicu timbulan minyak jelantah. Rata-rata tingkat konsumsi minyak goreng di tingkat rumah tangga mencapai 11,34 liter per minggu atau mencapai 1.509,64 kiloliter/bulan.
“Ini sangat bagus prospeknya, apalagi di tahun 2050 seluruh maskapai penerbangan di dunia harus beralih ke energi alternatif bioavtur. Sementara suplainya masih jauh, berada di kisaran 5 persen dari kebutuhan global,” terang Amrullah Tahad, CEO Green Energi Utama (GEU).
Baca juga:
DPRD Kota Malang Setujui Rancangan Perubahan APBD 2024, Fokus Kurangi SILPA
Gerindra Segera Deklarasi Rekom Pasangan Calon Pilkada Kota Malang, Wahyu – Ali Menguat
Mendedahkan Tarian Langit, Harmoni Dialektika Agama dan Budaya
Menurutnya, Indonesia berkontribusi sekitar 10 persen dari kebutuhan global avtur berkelanjutan. Diperkirakan timbulan limbah minyak jelantah secara nasional mencapai 3 juta metrik ton. Asumsi itu didasarkan atas produksi minyak goreng baru sebesar 10 juta ton per tahun yang pemakaiannya menyisakan sekitar 20 hingga 30 persen timbulan minyak jelantah.
“Namun yang bisa dikumpulkan hanya sekitar 300 ribu ton. Sebagian besar atau 80 persen lainnya, dibuang begitu saja ke saluran drainase ataupun ke tanah. Tentunya lambat laun akan berdampak menimbulkan pada persoalan lingkungan,” ungkap dia.
Ia menjelaskan, GEU didirikan pada 2020 lalu. Bisnisnya fokus mengumpulkan minyak jelantah. Bahan baku tersebut disalurkan kepada mitra sejumlah perusahaan di luar negeri maupun di Indonesia. Pada tahun ini ditargetkan terkumpul 1 juta liter minyak jelantah terkonversi di 2025 meliputi area Jawa Timur dan Bali. Rencana itu dimulai dari Malang Raya yang diharapkan bisa mengumpulkan 50 ribu liter minyak jelantah.
Untuk merealisasikan target tersebut, GEU turut menggandeng Amartha, perusahaan teknologi finansial di bawah pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Keduanya berkolaborasi dengan meluncurkan “Gerakan Konversi Minyak Jelantah untuk Bioavtur”. Terlebih Amartha sebagai jasa layanan keuangan digital inklusif memiliki jejaring yang tersebar se Indonesia yang tergabung dalam Ibu Mitra Amartha. Kolaborasi tersebut sebuah upaya menciptakan keselarasan antara peningkatan kesejahteraan masyarakat akar rumput dan keberlanjutan lingkungan.
“Ini kolaborasi pengumpulan minyak jelanta dengan jaringan terbesar se Indonesia. Ada 2 juta anggota komunitas yang dihimpun Amartha. Apalagi minyak jelanta itu penguasaannya ada di kalangan ibu-ibu rumah tangga. Sehingga saya yakin target 1 juta liter bisa tercapai,” ungkap Amrullah.
“Gerakan Konversi Minyak Jelantah untuk Bioavtur” sebagai bagian dari komitmen mewujudkan ekonomi sirkular. Melalui kolaborasi bersama , Amartha mengorganisir jejaring Ibu Mitra Amartha untuk mengumpulkan minyak jelantah limbah rumah tangga, guna ditukarkan dengan insentif ekonomi.
Head of Impact and Sustainability Amartha, Katrina Inandia menyampaikan, peluncuran “Gerakan Konversi Minyak Jelantah untuk Bioavtur” tidak hanya fokus pada pelestarian lingkungan, tetapi juga memberikan manfaat ekonomi langsung bagi Ibu Mitra Amartha dan keluarga. Melalui kolaborasi inklusif ini, Amartha dan GEU berusaha menciptakan kesetimbangan antara peningkatan kesejahteraan masyarakat akar rumput dengan semangat pelestarian lingkungan.
“Sebagai layanan keuangan digital inklusif yang berfokus pada masyarakat akar rumput, Amartha senantiasa berkomitmen menerapkan sistem bisnis yang berkelanjutan meliputi implementasi berbagai program berbasis prinsip Environmental Social Governance (ESG) yang baik. Berdasar pilar Amartha Lestari dan Amartha Madani, kami senantiasa memastikan agar profitabilitas bisnis juga memiliki dampak sosial yang berkelanjutan,” ungkap Katrina.
Gerakan ini merupakan upaya Amartha dalam mendorong praktik implementasi ekonomi sirkular inklusif di tingkat akar rumput. Strategi keberhasilan gerakan ini menggunakan pendekatan berbasis komunitas. Dengan model bisnis group-based lending, Amartha telah memiliki kelompok Ibu Mitra yang sudah membentuk satu komunitas sendiri, yaitu Kelompok Majelis.
“Gerakan konversi minyak jelantah untuk bioavtur” sejalan dengan pilar ESG Amartha: Amartha Madani yang difokuskan memberikan dampak ekonomi bagi Ibu Mitra Amartha. Melalui program ini, kami menargetkan keuntungan ekonomi bagi Ibu Mitra dan keluarga dengan total insentif kurang lebih mencapai 5 milyar Rupiah yang dihasilkan dari konversi minyak jelantah secara nasional.” tambah Katrina.(der)