MALANGVOICE – Ali Muthohirin menyoroti pentingnya mewujudkan Kota Malang sebagai kota inklusif yang menjamin ketersediaan layanan publik yang nyaman untuk semua orang.
Hal itu disampaikan Sam Ali Muthohirin saat berdiskusi bersama Yayasan Waroeng Inklusi di Sukun, Kota Malang, Rabu (7/8).
Menurutnya, dukungan untuk penyandang disabilitas perlu dilakukan secara konkret dengan mengajak kolaborasi seluruh pihak.
“Setiap individu, termasuk penyandang disabilitas, berhak mendapatkan kesempatan yang setara dan merasa diterima dalam masyarakat. Inilah yang menjadi tujuan kita bersama, yaitu menciptakan lingkungan yang inklusif dan ramah untuk semua,” ujar Ali.
Baca Juga: Segudang Manfaat Beasiswa BINUS University Bantu Raih Impian Gen Z
Qrupi Launching Perdana di Malang, Pj Wahyu Hidayat Apresiasi Langkah Inovasi Bentuk Karakter Siswa
Di bidang pendidikan, Sam Ali mendorong pelatihan Guru Pendidikan Khusus (GPK) sebagai langkah awal.
Ia menegaskan guru perlu dilengkapi dengan kompetensi yang memadai agar mampu menangani anak-anak berkebutuhan khusus dengan baik.
“Kita perlu memastikan pemerataan kompetensi guru sehingga mereka bisa menangani anak-anak disabilitas dengan cara yang tepat. Pelatihan bagi GPK harus menjadi prioritas, karena mereka adalah garda terdepan dalam mendukung pendidikan inklusif,” jelas Ali.
Selain pelatihan, Ali juga menyoroti tantangan yang dihadapi anak-anak disabilitas setelah menyelesaikan pendidikan dasar. Banyak dari mereka yang masih kebingungan mengenai langkah selanjutnya, seperti pekerjaan atau pendidikan lanjutan.
“Anak-anak ini seringkali merasa bingung dengan masa depan mereka. Kita harus menyediakan panduan dan dukungan yang jelas agar mereka bisa merencanakan masa depan dengan percaya diri. Ini termasuk memastikan mereka mendapatkan kesempatan kerja yang layak setelah menyelesaikan pendidikan,” tambah Ali.
Dalam acara itu, Sam Ali juga menerima masukan dan keluhan dari yayasan dan keluarga penyandang disabilitas.
Ia mengatakan, pemerintah perlu memberikan perhatian lebih terhadap kesejahteraan keluarga penyandang disabilitas. Ia juga mengajak masyarakat dan pemerintah untuk bekerja sama dalam mengatasi masalah ini secara menyeluruh.
“Ini adalah tanggung jawab kita bersama untuk memastikan bahwa semua warga Malang dapat hidup dengan martabat dan tanpa diskriminasi. Langkah-langkah yang telah diambil harus diikuti dengan kebijakan yang efektif dan pelaksanaan yang nyata. Kita harus bergerak bersama untuk memastikan inklusi benar-benar terwujud di Kota Malang,” tambahnya.
Afifah, selaku Ketua Yayasan Waroeng Inklusi, mengungkapkan beberapa kendala yang saat ini dihadapi dalam upaya menjadikan Malang sebagai kota inklusi. Salah satunya adalah minimnya dukungan finansial bagi Guru Pendamping Khusus (GPK) dan ketidaksesuaian antara aturan dan pelaksanaan di lapangan.
“Guru Pendamping Khusus (GPK) saat ini bekerja 36 jam per minggu, namun hanya mendapatkan pembayaran separuh dari sekolah dan separuh dari wali murid. Ini menunjukkan bahwa sistem yang ada belum mendukung inklusi dengan baik,” ujar Bu Afifah.
Bu Afifah juga menyatakan bahwa meskipun Peraturan Daerah (Perda) mengenai sekolah inklusi sudah ada, pelaksanaannya masih belum optimal. Banyak sekolah yang belum menerima Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) dengan alasan keterbatasan fasilitas dan sumber daya.
“Inklusi dalam pendidikan harus lebih dari sekadar peraturan; kita butuh pelaksanaan yang nyata. Tanpa tindakan konkret, inklusi akan tetap menjadi sekadar wacana,” tegasnya.
Rizki Amaliah, ibu dari Fatih, anak tunarungu, turut menyampaikan tantangan yang dihadapi keluarganya. Ia menjelaskan bahwa biaya untuk alat bantu dengar dan pendampingan di sekolah menjadi beban yang signifikan bagi keluarganya.
“Kami merasa terbebani dengan biaya alat bantu dengar dan Guru Pendamping Khusus. Sekolah belum memberikan solusi yang memadai, sehingga kami sebagai orang tua harus menanggung beban ini sendirian,” ungkap Rizki.(der)