Bom Waktu
Suara menjadi batu
Mulutnya membusuk
Tak dipakai bertahun tahun
Tubuhnya lemas tak kunjung subur
Di tengah tengah ranjau ia terbujur kaku
Sekali bersuara, di tendang keluar gedung
Telah ia lihat, barisan kata kata berisi emas
Seharusnya ia pulang dan menceritakannya.
Sayangnya, ia terperangkap ranjau jahanam. Meteor-meteor bisa saja menghancurkannya dalam sekejap
Dari tahun-tahun yang mengurungnya
Suara adalah bom waktu yang melekat di punggungnya
Yang selalu aktif dan mampu menjadikannya terkapar mati.
Naskah Hitam
Matanya
Tatapan matanya membeku
Seorang aktor mati di panggung yang kosong
Kepalanya tergantung
Tak ada belati, tali goni menerkam lehernya
Matanya
Matanya melotot keluar
Dan mati. Kabar itu gempar.
Tubuhnya kurus
Waktu evakuasi telat satu jam
Kotorannya keluar hitam
Air mata. Air mata.
Ia mengeluarkan air mata. Hitam.
Air matanya hitam.
Seorang aktor telah matpanggung menjadi sepi
Deretan sepi itu menguar
Menjadi pertunjukan pertunjukan amal
Seorang aktor telah pergi
Meninggalkan sutradaranya sendiri.
Malam itu. Di luar hitam
Udaranya hitam semuanya menjadi hitam
Oleh naskah hitam
Dibaca sutradara
untuk aktor yang mati
Di panggung pertunjukan yang sepi.
Dahaga Mahasiswa
Dahaga menggerogoti setiap leher mahasiswa
Kaum yang selalu suci di mata kelompoknya sendiri
Anehnya, mereka saling berhubungan dengki
Saling senggol duduk di muka kursi
Apa yang mereka perebutkan?
Spon kursi yang empuk itu atau lantainya yang tinggi
Kata mereka, ini adalah tradisi
Yang perlu di jaga sampai mati
Dulu, ceritanya tak seperti itu
Mahasiswa amburadul di jalan tak saling senggol
Katanya, dulu itu revolusi
Dahaga mana yang tak menggerogoti leher mahasiswa
Katanya, sumpah mereka itu suci
Sumpah yang mana?
Bergotong royong saja butuh situasi
Berbagi saja butuh dana subsidi
Yang mana katamu itu suci
Coba tengok ke dahimu sendiri
Pokoknya aksi. Pokoknya aksi.
Sekarang, aksi tanpa subsidi penunggang kuda, ya tak akan jadi
Sajak Kehilangan
Jauh jam menunjuk angka kehilangan
Detik detik dihitung tak menemukan ujung
Saku celana seorang sarjana bolong
Koin-koin berjatuhan
Telinga sarjana lain mendengar
Saling tatap. Saling tatap.
Angka dihitung mundur
Itu koin siapa. Itu milik siapa.
Perebutan koin terjadi.
Perebutan harga diri dimulai
Adu mulut.
Mata melotot. Tangan mengepal mengeras
Ini milik siapa?
Semua orang diam, sarjana itu melonglong.
Keadaan semakin mencekam
Koin itu hilang. Koin itu hilang.
Semua hilang. Kesadaran hilang.
Tuhan dan cinta kasihnya hilang.
Sajak Pertanyaan
Ini seragamku Tuhan.
Setelah kubayar lunas pembayaran untuk gedung rektor yang baru itu.
Bolehkan aku bertanya Tuhan?
Berapa banyak uang yang dihabiskan untuk membangun gedung rektor yang baru itu?
Tuhan, kenapa gedung rektor selalu lebih megah ketimbang gedung kuliah?
Lihat atap-atapnya itu, indah bukan? ada pelanginya.
Tuhan, kenapa parkir mobil lebih luas ketimbang tamannya?
Maaf Tuhan, harus bertanya banyak. Rektor sedang sibuk.
*Achmad Fathoni, lahir di Bojonegoro dan saat ini berdomisili di Malang. Pegiat Pelangi Sastra Malang.