MALANGVOICE – Deputi II Bidang Permodalan Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf), Fadjar Utomo, mengingatkan pelaku usaha rintisan soal hak atas kekayaan intelektual (HAKI).
Menurutnya perekonomian di Indonesia saat ini bergerak berdasarkan data dan ide. Artinya, ide sama berharganya dengan harta kekayaan lain seperti rumah. Untuk bisa mengakui sebagai pencetus ide, seseorang perlu mengantongi HAKI. Dengan demikian, jika ide yang telah diakui sebagai HAKI seseorang, maka orang lain yang menggunakannya harus membayar kompensasi atas penggunaan tersebut.
Sayangnya, orang Indonesia banyak yang tidak familiar dengan regulasi karenanya kesadaran atas hal tersebut perlu ditingkatkan.
“Kalau ini sifatnya subjektif. Sebagian orang di Indonesia punya mentalitas demikian yang kurang menghargai hak intelektual orang lain. Masih suka gratisan. Film saja suka bajakan. Sebagian juga merasa mengurus HAKI itu mahal,” katanya saat ditemui MVoice, Rabu (25/10).
Selain itu, Fadjar menilai, pemetaan finansial di Indonesia lebih menitikberatkan di perbankan, sehingga analisanya bersifaat kebendaan. Padahal, kekayaan intelektual itu sesuatu yang tidak berwujud. Lembaga keuangan masih belum bisa memfasilitasi kekayaan intelektual yang bersifat tak berwujud.
Pelaku industri kreatif perlu tahu, pendaftaran HAKI bisa diajukan ke Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham). Permohonan HAKI bisa berupa pengajuan merek, hak cipta, paten, indikasi geografis, desain industri maupun rahasia dagang.
Namun, setiap mendaftarkan HAKI, pemohon akan dikenakan tarif Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang besarnya bervariasi sesuai dengan jenis HAKI yang dimohon. Hal ini sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2016 terkait jenis dan tarif atas jenis PNBP yang berlaku pada Kemenkumham. Selain datang langsung ke kantor, pemohon HAKI bisa mengajukan permohonan HAKI secara online.
“Makanya peroleh dan miliki. Segera daftarkan,” tandasnya.(Der/Yei)