MALANGVOICE– Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Trunojoyo Madura (UTM), Prof Dr Deni Setya Bagus Yuherawan, menekankan urgensi kejelasan dan kesinambungan kewenangan hukum pada tahap pra-ajudikasi dalam sistem peradilan pidana Indonesia.
Pernyataan tersebut disampaikan Prof Deni saat menjadi pembicara dalam Seminar Nasional bertajuk “Reformasi KUHAP: Menyongsong Era Baru Peradilan Pidana yang Progresif dan Berkeadilan” yang digelar Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Islam Malang (BEM FH Unisma), Kamis (24/4).
Dalam pemaparannya, Prof Deni menyoroti pentingnya pelaksanaan pra-ajudikasi secara koheren, jelas, dan presisi.
Korban Dugaan Pelecehan Seksual Dokter RS Persada Malang Lapor Polisi Bawa Bukti Lengkap

“Pra-ajudikasi merupakan fondasi awal dari keseluruhan proses peradilan pidana. Jika tahap ini tidak dilaksanakan dengan prinsip koherensi dan kejelasan, maka keadilan substantif akan sulit diwujudkan,” ujar Prof Deni di hadapan peserta seminar.
Ia menjelaskan sistem peradilan pidana Indonesia terdiri dari tiga tahapan besar, yaitu Pra-Ajudikasi, Ajudikasi, dan Pasca-Ajudikasi. Pada tahap pra-ajudikasi, yang melibatkan penyelidikan kepolisian hingga penuntutan di kejaksaan, Prof Deni menekankan pentingnya penegakan hukum yang berbasis asas legalitas.
“Tahap ini Kepolisian berfungsi sebagai pengumpulan bukti awal dan pengujian dasar hukum atas suatu dugaan tindak pidana,” ungkapnya.
Tahap kedua, adjudikasi, merupakan proses pembuktian formal di pengadilan. Sedangkan pasca-adjudikasi mencakup pembinaan terhadap terpidana sebagai bagian dari proses reintegrasi sosial.
“Sedangkan Pasca-Ajudikasi (Post-Adjudication) untuk tahap ini mencakup pembinaan terhadap terpidana oleh lembaga pemasyarakatan, khususnya dalam pelaksanaan pidana perampasan kemerdekaan, sebagai bagian dari reintegrasi sosial,” terangnya.
Prof Deni juga menegaskan dasar hukum yang memperjelas kewenangan institusi penegak hukum. Ia merinci berbagai regulasi seperti UU Polri, KUHAP, serta UU Tindak Pidana Korupsi yang menetapkan batas kewenangan Polri, Kejaksaan, dan KPK secara eksplisit.
“Polri berwenang melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap seluruh tindak pidana, termasuk tindak pidana korupsi, KPK memiliki kewenangan dalam penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan khusus untuk tindak pidana korupsi, Kejaksaan bertanggung jawab dalam melakukan penuntutan dan melaksanakan eksekusi atas putusan pengadilan,” jelas Prof Deni.
Selain Prof Deni, seminar nasional ini juga menghadirkan sejumlah akademisi dan pakar hukum pidana seperti Dr Sholehuddin dan Dr Prija Jatmika. Diskusi berlangsung dinamis dengan berbagai kritik dan gagasan reformasi KUHAP yang dianggap sudah mendesak.
Pakar Kriminolog UB Dr Prija Djatmika, SH, MS, turut menyoroti pentingnya partisipasi bermakna dari masyarakat dalam proses legislasi. Ia yang juga merupakan pemateri, meminta DPR tidak tergesa-gesa menyahkan RKUHAP tanpa memahami implikasi strategis terhadap sistem peradilan pidana.
“Mindfulness participation harus hadir. KUHAP sangat fundamental dan harus melindungi hak semua pihak, termasuk korban dan pelaku. Jangan sampai kejar tayang justru merusak tatanan hukum,” ujarnya.
Dalam forum itu, para ahli sepakat reformasi KUHAP perlu konsistensi terhadap asas legalitas dan pemisahan fungsi peradilan pidana. Terutama, agar tidak mengulang kembali upaya perluasan penyidikan oleh kejaksaan yang sebelumnya sempat ditolak publik.
“Dengan berbagai catatan dan masukan tersebut, kami merekomendasikan agar Komisi III DPR RI membuka ruang partisipasi publik lebih luas dan memastikan kembali pasal-pasal krusial RKUHAP agar selaras dengan prinsip keadilan dan perlindungan hak asasi manusia, tidak hanya pelaku, tetapi juga korban dan masyarakat,” sebutnya.
Sementra Dr Sholehuddin, SH, MH, menegaskan pentingnya DPR khususnya Komisi III untuk mendengar masukan dari akademisi, bukan hanya aparat penegak hukum. Menurutnya, RKUHAP merupakan regulasi yang mengatur APH dan berdampak langsung terhadap masyarakat pencari keadilan.
“KUHAP bukan ruang perluasan kewenangan. Penyelidikan harus ada batas waktunya dan bisa diuji melalui pra peradilan. Kalau tidak diatur tegas, bisa merugikan korban dan masyarakat,” tegasnya.
Seminar ini diharapkan menjadi langkah strategis untuk mendorong lahirnya KUHAP baru yang lebih progresif dan responsif terhadap dinamika hukum di Indonesia.(der)