MALANGVOICE – Tragedi Kanjuruhan menyisakan duka bagi seluruh Aremania dan pecinta sepak bola Indonesia.
Peristiwa yang terjadi pada Sabtu 1 Oktober 2022 ini menimbulkan ratusan korban jiwa, mulai meninggal dunia ataupun luka-luka.
Dugaan penyebab korban luka dan meninggal karena tembakan gas air mata dari aparat pengamanan. Selain itu banyak korban tewas terinjak-injak saat berusaha keluar dari stadion.
Baca Juga: Sore Nanti, Polri Sampaikan Progres Kasus Tragedi Kanjuruhan
Salah satu Aremania, Dadang Indarto, mengatakan, gas air mata yang ditembakkan ini berbeda dengan yang pernah ia rasakan sebelumnya.
Ia menceritakan kisah kelamnya seperti film horor. Saat menonton pertandingan di pintu 12, semuanya berjalan baik-baik saja hingga laga usai dimenangkan Persebaya dengan skor 2-3.
Akan tetapi, sesaat setelah pertandingan usai ada oknum Aremania masuk ke dalam lapangan.
Baca Juga: 35 Orang Diperiksa Polisi Sebagai Saksi, Polisi Hati-hati Tetapkan Tersangka
“Saya tegaskan, oknum itu untuk memberi support kepada pemain. Bukan menyerang seperti yang diberitakan banyak orang di luaran sana,” kata Dadang.
Kondisi itu dikatakannya masih berjalan aman sampai steward menyuruh Aremania yang turun kembali ke tribun.
Namun beberapa saat kemudian ada tindakan aparat yang memancing lebih banyak massa turun ke lapangan. Kericuhan pun tidak bisa dihindari sampai petugas menembakkan gas air mata ke arah tribun selatan dan utara.
Di sana Dadang sempat terkena asap. Ia mengaku asap kali ini lebih perih di mata dan muka.
“Saya pengalaman banyak unjuk rasa. Biasanya dikasih air itu langsung hilang efeknya. Saya sampai tiarap menutup kepala pakai baju. Tapi masih terasa perih,” jelasnya.
“Saya menduga gas air mata yang dikeluarkan itu gas air mata untuk perang karena perih banget,” ia menambahkan.
Setelah itu ia mengingat peristiwa hampir serupa pada 2018 di Stadion Kanjuruhan. Saat itu gas air mata juga ditembakkan ke arah tribun, tapi tidak seperih kemarin.
“Apa yang dilakukan polisi sangat berlebihan. Yang sangat saya sayangkan, kenapa tidak berbenah lawan Persib dulu. Kenapa tidak ada jalur evakuasi, dan kenapa pintu ditutup,” kesalnya.
Cerita yang sama juga dialami Totok Kacong. Ia merasa gas air mata yang ditembakkan saat Tragedi Kanjuruhan berbeda.
“Beda selongsong yang dipakai. Saya ada bukti,” singkatnya.
Saat ini polisi masih menyelidiki peristiwa paling kelam dalam sejarah sepak bola Indonesia. 131 korban merupakan terbanyak kedua dalam dari seluruh dunia.
Presiden RI, Joko Widodo pun berjanji akan mengusut tuntas insiden ini dengan membentuk Tim Gabungan Independent Pencari Fakta (TGIPF) yang diketuai Menko Polhukam Mahfud MD.
“Tim TGIPF minta waktu satu bulan. Tapi saya mau secepat-cepatnya. Peristiwa ini harus diperbaiki semua. Semua audit total,” tegas Jokowi.(der)