Bola Rivalitas dan Imajinasi Highlander

Yunan Syaifullah. (istimewa)

Oleh: Yunan Syaifullah

Rivalitas adalah luka dan duka. Demi keunggulan dan kepentingan, rivalitas bisa terjadi. Menyembuhkan luka. Menghapus duka. Keduanya tidak harus dengan amarah.
Keduanya bisa dikurangi kadarnya. Bahkan disembuhkan melalui imajinasi untuk menutupi luka dan duka. Dalam berbagai peristiwa, imajinasi seseorang bisa muncul dan terbangun berlatar kesulitan dan derita.

Bangunan imajinasi itulah yang bisa melahirkan berbagai mimpi dan harapan. Imajinasi, mimpi dan harapan yang berjumpa itulah akan terlahir era baru yang diharapkan, yang kita kenal dengan masa depan.

Sepak bola adalah masa depan. Sepak bola juga memiliki masa lalu. Tidak semua masa lalu berwarna cerah, gemerlap dan menjadi cerita bahagia. Masa lalu juga memiliki warna yang suram, gelap dan mencemaskan. Warna masa lalu itu pula yang membentuk sejarah sepak bola dimanapun.

Skotlandia dan Inggris memiliki sejarah masa lalu yang melahirkan luka dan duka akibat rivalitas yang tak pernah selesai.
Kedua Negara itu adalah sebagai saksi dan pelaku sejarah tertua dunia dengan tim nasionalnya. Kedua Negara sudah mengawali debut dan sekaligus rivalitas sepak bola semenjak tahun 1872. Apabila tahun itu dicatat, maka sudah 149 tahun keduanya dalam pusaran rivalitas dengan 114 kali pertandingan yang dimainkan. Inggris meraih 48 kali meraih kemenangan. Skotlandia 41 kali. Hasil berimbang 25 kali. Kemenangan Skotlandia sejumlah 41 kali tidak pernah dicatat dalam sejarah dunia. Kemenangan 48 kali, Inggris yang lebih banyak ditengok oleh sejarah dunia.

Rivalitas keduanya yang tercatat sejarah, yakni pada tragedy Juni 1977. Pertandingan Inggris dengan Skotlandia yang berakhir dengan kekacauan, tiang gawang yang dirobohkan, supporter menyerbu dan memasuki lapangan. Inggris sebagai tuan rumah. Skotlandia sebagai tamu. Hasilnya kemenangan untuk tim tamu, yakni Skotlandia dengan skor tipis 1-2.

Rivalitas keduanya seolah menjadi derbi klasik yang selalu melahirkan berbagai cerita menarik. Tidak hanya hasil pertandingan. Namun, cerita di luar lapangan hijau yang tidak ada hubungannya dengan sepak bola memberikan andil bobot kedalaman derbi klasik keduanya.

Ribuan bahkan jutaan mata yang tertuju satu titik: Wembley Stadium. Baik sebagai penonton langsung maupun yang berada jauh dari titik tersebut memiliki aura yang sama. Baik itu, mereka yang duduk dan fokus di depan televisi yang menyaksikan siaran langsung. Sebagian orang, ada yang rela dan mengaktifkan layar monitor i-pad atau laptop untuk menyimak laga klasik melalui saluran streaming. Kemacetan terurai. Jalanan sepi. Kemacetan hanya terjadi pada 3 titik yang di dekat stadion, saluran frekwensi televisi, dan saluran streaming.

Meski dilatari rivalitas, prestise, dan harga diri, sesungguhnya kedua Negara mampu direkatkan. Sepak bola mampu menghipnotis saluran kehidupan. Sepak bola mampu menyatukan perbedaan atas nama fanatisme. Itulah fragmentasi bola. Meminjam istilah Franklin Foer (2004), Memahami Kehidupan Lewat Sepak Bola.

Sepak bola tidak hanya masalah di lapangan. Karena itu, tidak salah seorang Franklin Broer hingga mengatakan dibalik sepak bola ada kehidupan menarik yang bisa diamati dan dijadikan pelajaran secara serius.

Sepak Bola selalu diwarnai fragmentasi kehidupan yang terkadang tidak berhubungan langsung dengan masalah teknis di lapangan. Ahli strategi, seni berperang dalam Cina Klasik Jendral Sun-Tzu, meninggalkan pesan berarti bagi siapapun takkala memaknai berkompetisi mengatakan bahwa jangan pernah takut dengan 1000 musuh yang menghadang. Tapi takutlah dan perhatikan kekuatan dan kelemahan yang dimiliki musuh.

Rivalitas Skotlandia dan Inggris dalam sepak bola, sesungguhnya diawali dari perseteruan kedua warga di berbagai bidang kehidupan, baik politik, sosial, ekonomi, budaya, pendidikan, dan masih banyak faktor lainnya.
Rivalitas adalah kepentingan. Berimbas dan masuk kedalam lapangan hijau. Bahkan keduanya sudah menganggap sebagai musuh lama (auld enemy) bila keduanya harus bertemu, untuk saling mematikan.

Sepak bola Skotlandia harus diakui kalah gemerlap dibanding Inggris. Namun, Skotlandia bermain sepak bola dengan kekuatan mitologi Highlander. Highlander telah menjadi cerita dan imajinasi bagi Negara Skotlandia.

Imajinasi Highlander adalah salah satu kekuatan Skotlandia. Imajinasi itu sekaligus kelemahan bagi Skotlandia karena cara bermainnya sudah diketahui Inggris. Mengingat sebagian besar pemain utama Skotlandia juga bermain di liga Inggris.
Jauh sebelumnya laga klasik dipertandingkan. Laga klasik diliputi dengan berbagai kecemasan dan ketakutan yang menghinggapi banyak kalangan berkaitan dengan masalah pinggir lapangan. Masalah friksi dan konflik antar pendukung karena faktor sejarah masa lalu.

Kecemasan dan keraguan diantara para pemain, bertanding dengan seolah bukan sebagai patriot bola. Meski bertanding dengan keras dan penuh intrik. Khususnya yang ditunjukkan pemain Inggris.

Pemain, Pelatih, Official dan bahkan penonton tertunduk lemas, tidak bergairah dan kecewa. Kekuatan tersisa dari para patriot bola adalah jiwa kstaria. Jiwa inilah yang menjadi keunggulan dalam olah raga apapun, termasuk sepak bola. Patriot bola hanya memiliki dua pilihan. Siap menang dan juara. Siap kalah dan terhormat. Itulah ksatria-nya seorang Patriot Bola.
Beda halnya, dengan Skotlandia masuk lapangan dengan membawa imajinasi. Seolah melupakan memori kelam pada tragedy Juni 1977. Skotlandia ingin mengulang memori sukses 1967 takkala kali pertama dalam sejarah salah satu klubnya Celtic menjadi jawara Liga Champions.

Terbukti, laga klasik hasil akhirnya adalah seri. Hasil akhir itu bagi Skotlandia adalah kemenangan. Sedangkan, Inggris adalah kerugian.

Imajinasi bisa tumbuh dari siapapun dan dari manapun. Tidak membedakan status dan kelas. Imajinasi adalah asasi yang mestinya dihormati dan dihargai.
Sesungguhnya, lapangan hijau dimanapun, adalah locus yang selalu mampu menyemai benih-benih imajinasi kemanusiaan tentang banyak hal.

Masa lampau jangan menjadi rintangan dan membuat gelap masa depan sepak bola, ujar Raheem Sterling.

Yunan Syaifullah
Penikmat Bola, Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Muhammadiyah Malang