Sendang Syi’ir

Senja sudah menghilang, gunung ‘pegat’ telah berkabut meskipun tipis. Orang-orang pulang ke rumah masing-masing dan ada yang berbondong-bondong menuju masjid. Hari hampir gelap, rumah-rumah sudah menyala dengan lampu bohlam 5 watt-nya dan jalan sempit ini sudah mulai sepi. Jalan yang berujung pada persimpangan menuju ke sendang, ke puncak gunung pegat.

Setiap malam, setelah orang-orang telah menyelesaikan ibadahnya di masjid akan selalu terdengar alunan syi’ir yang merdu dari arah sendang. Suara-suara yang datang tiba-tiba, setelah beberapa bulan lalu ada anak kecil yang hilang tenggelam dan belum diketemukan hingga saat ini.

“Kata Ustadz Mansur itu suara Nabi Khidir,” jelas Ilul sembari memperhatikan langkah kakinya.

“Hush… yang benar saja kau ini, aku menduga ada hal aneh disana.”

“Ah… kau ini, itu kata ustadz.”

Namun percakapan kedua pemuda itu terpotong sebab Makruf  terlebih dulu sampai ke rumahnya. Sedangkan Ilul masih harus berjalan 50 meter lagi sampai di rumah, lebih dekat dengan sendang ketimbang rumah kawannya itu. Jalan itu akan selalu sepi setelah kejadian hilangnya anak kecil beberapa bulan lalu itu

Hanya ada beberapa rumah sepanjang jalan sempit itu dan rumah Ilul berada di ujung persimpangan. Jalan yang biasanya ramai kini sudah menjadi sepi dan sepanjang malam hanya akan terdengar suara syi’ir itu, tak pernah selesai. Setiap malam dan tak pernah tak ada, seharipun itu.

Saat siang sendang itu pun tetap ramai dengan pengunjung dan warga kampung, namun ketika sudah menginjak senja orang-orang akan segera bergegas meninggalkan sendang, begitu pula bagi mereka yang tengah berada di puncak gunung, akan segera turun. Ilul hanya akan menikmati suasana malam yang sepi di ujung persimpangan itu.

Saat malam, Ilul tak pernah sekalipun mencoba memastikan keberadaan suara itu, hanya ada satu orang yang pernah mencoba mendekat ke sumber suara, namun belum sempat memastikan, ia sudah terlebih dulu kembali dengan alasan takut. Dan Ustadz Mansur pun hanya dapat percaya bahwa itu memang benar-benar Nabi Khidir yang abadi.

***

Semenjak hilangnya anak kecil yang tengah berenang di sendang itu, kini orang-orang akan lebih dulu melempar beberapa uang koin sebagai bentuk amit kepada penguasa alam. Dan itu sudah menjadi kepercayaan orang-orang sekitar, sebab menurut orang-orang tua dahulu hal tersebut perlu dilakukan sebagai bentuk penghormatan agar segala bentuk kegiatan yang sedang dilakukan akan tetap terjaga. Entah, sebenarnya Ilul sendiri sempat tak pernah percaya jika ada yang akan mengganggu. Namun ia kini mulai ikut-ikutan dengan yang dilakukan warga kampung.

Anak kecil yang hilang itu pun telah diikhlaskan keluarganya namun masih terasa ada yang ganjal ketika syi’ir itu masih terdengar, apalagi Ilul yang akan selalu mendengar suara itu. Setelah kejadian itu sendang sempatsepi, namun kini sudah kembali ramai sebab desas-desus mistis sudah hilang dari telinga orang-orang.

Namun jalan sempit ini akan tetap kembali sepi saat malam, selalu sepi dan hanya syi’ir itu saja yang akan selalu terngiang di telinga Ilul dan tetangga sederet rumah sepanjang jalan itu.

Saking seringnya Ilul mendengar syi’ir itu ia mulai hafal bait perbait, hingga setiap hari ia selalu bergeming sendiri menirukannya. Tak hanya Ilul, hampir sederetan rumahnya pun sudah mulai hafal dan terbiasa.

***

Warga kampung pun mulai menggunakan syi’ir yang mereka hafal untuk menghibur banyak pengunjung dan mereka percaya dapat membawa banyak sekali keuntungan. Begitu pula Ilul dan Makruf yang menikmati sendang ramai kembali.

Senja sudah menghilang, gunung pegat telah berkabut meskipun masih tipis. Orang-orang pulang ke rumah masing-masing dan ada yang berbondong-bondong menuju masjid. Hari hampir gelap, rumah-rumah sudah menyala dengan lampu bohlam 5 watt-nya dan jalan sempit ini sudah mulai sepi lagi. Jalan yang berujung pada persimpangan menuju ke sendang, ke puncak gunung pegat.

Namun anehnya syi’ir itu tak lagi terdengar, warga kampung tak sadar mengenai itu. Namun ketika mulai bergeming dengan syi’ir itu mereka lekas tersadar bahwa tak lagi terdengar suara yang mereka yakini Sang Abadi itu.

Lekas warga kampung keluar dari dalam rumah untuk memastikan apakah benar suara itu hilang, tak terdengar lagi. Serentak mereka keluar bersamaan termasuk Makruf, lalu mereka mendekat ke persimpangan. Dalam perjalanan menuju persimpangan Makruf pun masih bergeming dengan syi’ir itu, sampailah warga kampung di persimpangan dan melihat Ilul yang terlebih dahulu tertegun menatap ke arah sendang yang memancarkan cahaya cerah.

“Di mana suara itu?” dengan mulut Makruf yang masih bergeming syi’ir itu ia menanyakan di mana keberadaan suara syi’ir itu.

“Mungkin sudah pergi, tapi lihatlah.”

“Apa maksudmu,” tertegun Makruf melihat dengan mata melotot ke arah sendang dengan mulut yang masih belum diam dengan syi’ir itu.

Warga kampung pun ikut memandang ke arah sendang yang tengah memancarkan cahaya terang.

“Kenapa kau ini? Cukup sudahi syi’irmu itu.”

“Entahlah, mulutku dengan sendirinya bergeming,” dengan syi’ir yang terpotong-potong .

Ilul menatap mata Makruf yang perlahan mulai kosong, ia mencoba menoleh kepada warga yang lain dan ternyata mulut mereka pun bergeming syi’ir tersebut, tak henti-henti.

“Sudah, hentikan!” teriak Ilul.

Namun tak ada yang mendengar sama sekali, mata Makruf telah kosong dan semua warga pun begitu. Ilul lekas mencoba menyadarkan Makruf namun ia tak berhasil. Seketika makruf melangkah dengan sendirinya menuju arah sendang, warga lainnya pun mengikuti langkah kaki Makruf yang telah lebih dulu berjalan.

Daun-daun kering berserakan Makruf lewati begitu saja meskipun ranting dan cabang pohon kering yang mati tengah menghadang, namun tetap ia terjang begitu saja. Langkah kaki mereka menuju sendang dekat dengan sumbernya. Ilul yang panik pun ikut membuntuti dari jauh.

Makruf seketika terhenti di dekat sumber, pancaran sinar cahayanya pula bersumber di sana, Ilul lekas mendekati Makruf. Dan seketika Ilul sampai ia mendapati cahaya terang itu memudar. Makruf  tersadarkan diri, namun matanya lekas tertuju pada bekas sumber cahaya tersebut. Ia tertegun menatap tubuh seseorang tergeletak di atas ratusan uang koin. Tubuh yang tergeletak itu adalah adik Makruf yang dinyatakan hilang tenggelam saat berenang di sendang beberapa bulan lalu. Ilul pun hanya terdiam, ia merasa memang ada Sang Abadi itu. Ilul merasa suara yang datang setiap malam itu datang untuk menuntun warga terutama Makruf yang tengah bersedih kehilangan adiknya tanpa diketemukan jasadnya.

*) Achmad Fathoni , berdomisili di Malang dan aktif berkegiatan bersama Pelangi Sastra Malang.